Page 160 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 160

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  139


               sebagai  pengaburan  terhadap  Islam  yang  autentik  atau  bahkan  jembatan
               menuju kekaf ran. Dalam hal ini, van den Berg mengklaim bahwa aktivitas
               begitu  banyak  orang  “Persia,  Turki,  dan  Bengali”  dalam  berbagai  tarekat
               yang bermarkas di Mekah menyingkirkan para bangsawan Arab yang layak
               sebagai  pemimpin  pendidikan  Islam  di  Jawa.  Menjelang  akhir  laporannya
               mengenai pendidikan pada 1887, van den Berg menyampaikan lebih kurang
               hal yang sama. Dia menyatakan bahwa bicara tentang Sulayman Afandi dan
               para sahabatnya, orang-orang Arab Nusantara merasa “tidak seunsur dengan
               mereka”. 89
                    Juga  tampak  bagi  Nusantara  bahwa  orang-orang  Arab  Nusantara
               kehilangan kekuasaan yang sah atas beberapa pesantren karena banyak orang
               Jawa  menduduki  peran  pemimpin  dalam  pengajaran  hukum  Islam.  Hal
               ini  terjadi  karena  sebagian  orang  Arab  terkucilkan  akibat  banyak  aktivitas
               pengajaran berlangsung dalam bahasa Jawa, bukannya Melayu. Bahkan, van
               den Berg, yang mencatat bahwa Sulayman Afandi cukup cerdik memerintahkan
               karya-karyanya  dicetak  dalam  bahasa  Jawa  di  Kairo,  meremehkan  banyak
               guru pesantren karena tidak menguasai bahasa Melayu. 90
                    Apa  pun  kelemahannya,  van  den  Berg  mengisyaratkan  gelombang
               perubahan tengah menerpa pesantren-pesantren Jawa. Namun, pada waktu
               dia menulis artikelnya, matanya lebih tertuju ke Belanda ketimbang Hindia.
               Dia berangkat menuju Delft pada 1887 dan tiba sekitar sepuluh bulan sebelum
               kaum  “Qadiri”  Cilegon  menyapu  bersih  semua  yang  telah  dia  kerjakan.
               Sebenarnya dengan adanya peristiwa Cilegon, pesantren dan tarekat sama-
               sama menjadi pusat perhatian, baik sebagai sumber hasutan antipemerintah
               maupun sarana pelaksanaannya oleh para priayi yang tidak puas—dulu dan
               sekarang.
                    Residen  Surakarta  mengakhiri  laporannya  pada  Oktober  1888,
               pernyataan bahwa Jawa dibanjiri oleh banyak pejabat yang dipecat dan tak
               puas  beserta  kerabat-kerabat  mereka,  serta  semakin  banyak  “fanatik  dari
               Mekah yang tegang”. Dalam pandangan sang Residen, para guru setempat
               berperan sebagai perantara para pejabat semacam itu dengan kaum fanatik
               yang  dipengaruhi  Mekah.  Pesantren  mereka  bisa  menjadi  bahaya  bagi
               keamanan negara “pada saat tertentu”, terutama ketika berbagai kondisi lokal
               memungkinkan orang-orang Jawa kebanyakan tertarik ke dalam kekacauan
               dengan praktik yang disebut “dikir”. Oleh karena itu, yang dibutuhkan untuk
               melestarikan kekuasaan Belanda adalah pengawasan dan pengendalian seketat
               mungkin terhadap kelompok-kelompok semacam itu. 91
                    Pernyataan yang sama juga tercantum dalam sebuah pamf et di Banten
               yang ditandatangani oleh mantan pejabat K.F. van Swieten. Setelah membaca
               berbagai aktivitas Sanusiyyah di Afrika Utara dan melihat perlawanan di Aceh,
               dia  mendesak  Belanda  untuk  mencari  tahu  mengapa  Islam  semakin  tidak
   155   156   157   158   159   160   161   162   163   164   165