Page 156 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 156

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  135

               GUNUNG API YANG TERTIDUR PUN BANGUN

                    Yang Mulia, Nabi kita Muhammad, memberikan perintah ini kepada penguasa
                    Mekah,  yang  kemudian  mengabarkannya  kepada  kaum  Mohammedan
                    di  seluruh  kota  besar  dan  kecil  ...  [agar]  para  penguasa  dan  panghoeloe
                    mengumpulkan para fakir, membacakan untuk mereka perintah surat ini; agar
                    mereka mengumpulkan kerabat mereka, dll., yang tinggal di kota-kota besar
                    dan kecil, desa-desa, dan dusun-dusun—besar dan kecil, muda dan tua, laki-
                                                                               79
                    laki dan perempuan—mengajari mereka hadis ini. Pastikan hadis ini ditaati!
                    (Risalah anonim yang beredar di Sumatra dan Jawa sekitar 1865)

               Demikian bunyi bagian sebuah surat, yang konon dikirim dari Mekah pada
               1865, yang beredar dari pusat-pusat pesisir Padang, Batavia, dan Semarang.
               Surat  tersebut  menyerukan  pembaruan  komitmen  terhadap  praktik  Islam
               dan berulang-ulang menyarankan pembacaan sebuah risalah “hadis” tertentu:
               walaupun  sebenarnya  risalah  itu  adalah  Tanbih  al-ghaf lin  (Pengingat  bagi
               Orang-Orang yang Lupa) karya al-Samarqandi, dan bukan salah satu kitab-
               kitab hadis Nabi yang sahih. Surat semacam itu sudah muncul sebelumnya,
               dan  banyak  lagi  yang  muncul  hingga  1880-an.  Mereka  memunculkan
               serangan-serangan kecemasan kolonial yang bisa dimengerti. Namun, sang
               penerjemah, dalam hal ini Poensen, yang menulis pada awal 1888 mengenai
               sesuatu yang beredar di kalangan putihan 23 tahun silam, bisa jadi merasa
               bahwa  dirinya  agak  berjarak  dari  kekhawatiran  semacam  itu  ketika  dia
               bertanya-tanya mengapa risalah-risalah “yang murni bermuatan keagamaan”
               selalu terlihat memiliki “sebuah makna politis”. 80
                    Akan tetapi, dahulu pada awal 1880-an, para pejabat sangat khawatir
               mengingat kenyataan bahwa abad keempat belas kalender Islam akan dimulai
               pada  1  November  1882  dan  bahwa  permulaan  sebuah  abad  baru  kerap
               dikaitkan oleh banyak muslim dengan munculnya seorang pembaharu agama.
               Di Jawa Barat khususnya, sebagian pejabat khawatir terhadap rumor bahwa
               sebuah rencana rahasia tengah dilaksanakan untuk menghapus mereka dari
               peta kolonial. Keadaan segera memburuk karena banyak orang Banten mulai
               curiga  bahwa  letusan  Krakatau  pada  1883  dan  serangan  hama  setelahnya
               adalah sebentuk hukuman Ilahiah atas kelalaian mereka untuk taat beragama.
               Oleh karena itu, ketika sebuah perlawanan benar-benar meletus di kota kecil
               Cilegon pada 9 Juli 1888 (artinya, setelah Poensen merampungkan artikelnya
               mengenai surat “Mekah” dari 1865), para pejabat kolonial dengan perspektif
               yang  sangat  tertutup  menoleh  kembali  pada  peristiwa-peristiwa  ini  dan
               melihat adanya hubungan logis antara semua itu dan dua dekade kedatangan
               serta keberangkatan “para fakir” dari Mekah. Salah seorang pejabat itu adalah
               R.A. van Sandick (1855–1933), seorang insinyur kolonial senior yang turut
               menyaksikan letusan Krakatau. Dia menulis buku geof sika In het rijk van
   151   152   153   154   155   156   157   158   159   160   161