Page 151 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 151

130  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN


          dia melakukan usaha pada lembaga semacam itu. Pesantren ini, barangkali
          berlokasi di Garut, didirikan pada 1857 di bawah kepemimpinan seorang
          cendekiawan yang sudah belajar di tempat lain di Jawa. Berdasarkan laporan
          Grashuis, sang guru cukup terbuka dalam menjelaskan agamanya dan metode-
          metode yang dia gunakan. Oleh karena itu, Grashuis mampu memberikan
          beberapa koreksi penting mengenai perbedaan antara para guru pesantren dan
          gagasan kaum cendekiawan dalam Islam, dengan menyamakan perbedaan itu
          dengan  perbedaan  antara  kalangan  pendeta  dan  anggota  perguruan  tinggi
          keagamaan.
              Dalam  pengantar  untuk  tulisan  keduanya,  Grashuis  sekali  lagi
          mengeluhkan para misionaris Belanda yang memberikan “jauh terlalu sedikit
          perhatian pada sifat orang-orang yang berusaha mereka kristenkan”.  Juga
                                                                     56
          jelas dari komentar-komentar dalam Soendanesche Bloemlezing-nya yang terbit
          belakangan  bahwa  dirinya  pada  saat  itu  mulai  menyadari  bahwa,  terlepas
          dari  ajaran  Holle  mengenai  persoalan  ini,  orang-orang  Sunda  memiliki
                                                          57
          kesusastraan tertulis yang sepenuhnya berlandaskan Islam.  Bahkan, Grashuis
          juga mengakui bahwa, melalui penekanan mereka terhadap literasi, pesantren
          menawarkan akses pada pendidikan dalam arti yang lebih luas. Oleh karena
          itu, dia bermaksud membekali para misionaris dan pejabat dengan akses yang
          lebih baik terhadap peradaban itu melalui analisis pendahuluan atas teks-teks
          yang telah dilihatnya, mulai dari karya mengenai kesucian ritual dan soal-
          jawab  al-Samarqandi.   Grashuis  membuktikan  bahwa  murid  mempelajari
                            58
          berapa jumlah nabi, berapa jumlah kitab yang dibawa oleh masing-masing,
          dan  bahwa  Muhammad  adalah  nabi  pamungkas  dengan  membawa  pesan
          terakhir dan hukum terakhir—sebuah pesan yang menurut Grashuis tidak
          boleh diremehkan. Grashuis juga menjelaskan perincian “pengetahuan agama
          dan keimanan” dan meringkaskan kandungan buku pengantar lain (Umm
          albarahin karya Sanusi) mengenai sifat-sifat Tuhan, “sebuah topik yang sangat
          disukai oleh para teolog Mohammedan”. 59
              Untuk seorang petugas dengan pikiran yang terfokus pada misi, Grashuis
          menawarkan penilaian adil yang mengagumkan terhadap sistem pesantren,
          meski dia masih percaya bahwa terdapat sebuah jurang yang dalam antara
          Belanda dan rakyat Muslim mereka. Pada 1881 dia menulis:

              Pada  suatu  kesempatan  ada  seorang  pribumi  berkata  kepada  saya  bahwa
              “Agama Anda dan agama saya berbeda; Tuhan tahu mana yang benar, tapi kita
              tidak tahu”, dan juga “Anda punya nabi, kami juga punya. Namanya mungkin
              berbeda,  tapi  pada  dasarnya  agama  kita  adalah  satu”.  Ini  adalah  pandangan
              seorang  Mohammedan  liberal,  dan  kurang  representatif  dibandingkan  yang
              barangkali dipikirkan orang. Pandangan itu diberikan sebagai usaha untuk tidak
              mengganggu pihak luar. Para santri mempelajari hal sebaliknya, yang dalam hal
              ini kita tidak boleh berilusi. Ajaran itu berbunyi, “Mohammed adalah nabi
   146   147   148   149   150   151   152   153   154   155   156