Page 146 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 146

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  125


                    Bagaimanapun,  berdasarkan  informasi  sesederhana  yang  bisa  mereka
               kumpulkan  dari  van  Hoëvell  (yang  dipaksa  pindah  ke  Belanda  pada  1849
               karena kritiknya terhadap Batavia), para misionaris yang jauh lebih optimistik
               ketimbang van der Tuuk menjadi aktif, baik dalam mengajak sasaran kristenisasi
               maupun  dalam  menghadapi  berbagai  tantangan.  Seperti  sudah  ditunjukkan
               Ricklefs, adalah misionaris Harthoorn dan W. Hoezoo (w. 1896), keduanya
               aktif di Jawa Timur pada 1850-an, yang kali pertama mengamati kecenderungan
               baru  di  kalangan  Muslim  yang  menyebut  diri  “orang-orang  putihan”  dan
               melabeli  sejawat  mereka  yang  diyakini  kurang  religius  sebagai  “orang-orang
               abangan”.  Laporan  panjang  mereka,  yang  direproduksi  dalam  jurnal-jurnal
               seperti Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (MNZG),
               termasuk di antara sumber-sumber terpublikasi paling berharga untuk melacak
               perubahan sosial di Jawa pada abad kesembilan belas, meski kedua pengarangnya
               jelas terpenjara oleh para informan elite mereka. Harthoorn yang tak mengerti,
               khawatir masyarakat Jawa akan dikuasai sejenis “despotisme” Mohammedan
               puritan, menempatkan “Doel” di pihak kaum santri yang lebih “sadar” sebagai
               sebuah  kelas.  Lebih  jauh  lagi,  rekannya  Poensen  mengklaim  bahwa  mereka
               menyamakan Tuhan dengan Muhammad dan berusaha terlahir kembali sebagai
               pejabat Belanda! Pastinya setiap santri Naqsyabandi harus membuat pembelaan
               atas praktik mereka. Dalam sebuah dialog yang dikumpulkan Poensen, seorang
               guru  Dul  marah  atas  tuduhan  bangsawan  bahwa  para  pengikutnya  percaya
               Nabi merasuki tubuh mereka pada saat dzikr. 34
                    Para  petualang  lain  yang  terikat  negara  kolonial  menjadi  tertarik
               untuk  melacak  detail-detail  kehidupan  sehari-hari  dan  memecahkan  teka-
               teki  mengenai  apa  persisnya  yang  diajarkan  di  pesantren-pesantren—
               walaupun seperti Lay dan Dickinson mungkin mengalami kesulitan melihat
               yang  terpampang  di  depan  mata.  Inilah  yang  terjadi  pada  1855  ketika
               “J.L.V.” menerbitkan kontribusinya mengenai “para pendeta dan seminari”
               Madiun.  Sebagaimana  kita  lihat,  J.L.V.—barangkali  seorang  pejabat  yang
               menggunakan  nama  inisial  untuk  menghindari  dampak  kedinasan  karena
               berhubungan dengan van Hoëvell—tegas menentang anggota rahasia sekte
               yang dikenalnya sebagai “Doel”. Namun, seperti halnya memihak “ortodoksi”
               lokal melawan kaum sektarian, dia tetap mencemooh kondisi pendidikan di
               kalangan ortodoks. Dia menyatakan bahwa apa yang ditawarkan di perdikan-
               perdikan hanyalah “hafalan beberapa bagian Koran dan doa-doa berbahasa
               Arab, tanpa si siswa mampu memahami satu kata pun. Sang guru pun tak
               mampu memberi gagasan mengenai arti dan maknanya karena dia sendiri
               jarang lebih paham daripada si murid”. Kemudian, dia melanjutkan:

                    Jika kita berpikir bahwa seminari-seminari di Kabupaten Madioen termasuk
                    yang paling terkenal di seluruh pulau; bahwa anak-anak muda datang ke sini
   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151