Page 144 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 144

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  123


                    Pada tilikan pertama, mungkin tak banyak yang berbagi keprihatinan
               van Hoëvell, seperti halnya sedikit yang berbagi keprihatinan Relandus pada
               1705. Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia, yang juga dipimpin
               van Hoëvell sejak 1845, nyaris tidak memiliki kedudukan yang baik sejauh
               berkaitan  dengan  koleksi  buku-buku  Islam.  Atau,  setidaknya  inilah  kesan
               sang penerjemah Injil setengah hati, H. Neubronner van der Tuuk (1824–94),
               yang tiba untuk melakukan kerja persiapan pada 1849 setelah sebagian dari
               sumber-sumber  terbaiknya  dikirimkan  untuk  disalin  sebagai  bahan-bahan
                                    23
               untuk Akademi di Delft.  Bagaimanapun, informasi bocor ke luar. Pada dua
               tahun pertamanya, TNI menampilkan berbagai kontribusi mengenai perang
               Padri dan importasi “fanatisme” Mekah. Van Hoëvell juga menerjemahkan
               Hikayat Jalal al-Din edisi Meursinge untuk Jenderal De Stuers.  Namun,
                                                                       24
               meski  van  Hoëvell  cukup  bahagia  menampilkan  artikel-artikel  mengenai
               kehidupan  Muhammad,  kesusastraan  Arab,  dan  makam-makam  suci,
               berbagai  kontribusinya  sebenarnya  merupakan  alasan  untuk  menyatakan
               bahwa, berkebalikan dengan orang-orang Sumatra, orang-orang Jawa nyaris
               tidak  mengenal  Nabi  mereka.   Van  Hoëvell  juga  bersemangat  mengutip
                                          25
               pengamatan para pendukung seperti Ketua Raad van Indië, van Sevenhoven,
               yang pada 1839 telah menggambarkan pesantren Lengkong, dekat Cirebon,
               sebagai kumpulan pondok bambu berbau busuk yang penuh murid setengah
               kelaparan dan tak bersemangat. 26

                    Dan, apa yang didapat oleh anak-anak muda malang ini dengan begitu banyak
                    pengorbanan? Apakah pikiran mereka menjadi maju dan beradab ke derajat,
                    sepadan  dengan  kerusakan  tubuh  mereka?  Jawabannya  tidak  memuaskan.
                    Pertama, di pendoppo mereka diajari membaca dan menulis secara yang agak
                    mekanis  ...  mereka  bersama-sama  mendengungkan  teks  yang  dipilih  untuk
                    pelajaran. Terdengar seperti lengkingan dan lolongan bagi orang yang belum
                    tahu; tetapi para Pendeta atau Santri, yang sesekali mondar-mandir di antara
                    mereka, segera tahu siapa yang melafalkan pelajaran secara keliru. Para murid
                    nyaris  tidak  memahami  apa  pun  yang  mereka  baca;  sesekali  sang  Hadji
                    menjelaskan maknanya, dengan itu mereka memperoleh sedikit pemahaman,
                    tetapi itu sangatlah tidak sempurna, tidak memadai, dan tidak terperinci. 27

                    Tahun-tahun setelah itu, potongan-potongan lainnya mulai tersingkap,
               yang terbukti sama-sama tidak sempurna, tidak memadai, dan tidak terperinci.
               Pada 1844 ada kontribusi ringkas mengenai berbagai tingkatan klerikus di
               Surakarta, tempat Mounier dan Winter mengklaim bahwa istilah perdikan
               merujuk  pada  sebuah  tingkatan,  bukannya  tempat.  Tokoh-tokoh  seperti
                                                            28
               Kiai  Lengkong  biasanya  dikubur  dalam  ringkasan-ringkasan  statistik  yang
               lebih  besar.  Demikianlah  yang  terjadi  terkait  dua  cendekiawan  terkemuka
               Dataran  Tinggi  Priangan  di  Jawa  Barat  pada  1846,  Kiai  Nawawi  dari
               Limbangan dan mendiang sejawatnya di Sumedang, Kiai ‘Abd al-Jalil. Meski
   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149