Page 141 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 141

120  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN


          Hoëvell, keponakan kaya mantan Gubernur Jenderal van der Capellen, tiba
          untuk melayani jemaah Batavia-nya pada 1837. Sepuluh tahun kemudian,
          pada  1847,  dia  menghabiskan  dua  bulan  menjelajahi  Jawa,  Madura,  dan
          Bali. Gambarannya, yang mendapat ancaman sensor di Batavia, diterbitkan
          di  Amsterdam  oleh  Veth,  yang  bergabung  dalam  dewan  Masyarakat  Injil
          Belanda  pada  1843.  Van  Hoëvell  menganggap  Veth  sebagai  rekan  yang
          sempurna  untuk  berbagi  ambisi  dakwah.  Tak  diragukan  lagi  dia  sepakat
          dengan  isi  artikel  panjang  Veth  pada  1845  mengenai  “Mohammad  dan
          Koran”,  yang  meringkaskan  pengaruh  Islam  terhadap  dan,  secara  implisit,
          ancamannya terhadap koloni. Mereka juga berbagi pandangan tak realistis,
          yang diungkapkan oleh van Hoëvell dalam Nederland en Bali-nya pada 1846
          bahwa orang-orang Indonesia bisa jadi masih terbukti menerima Kristenisasi. 10
              Van  Hoëvell  memberi  tahu  para  pembacanya  pada  1849  bahwa
          perjalanannya  dirancang  “untuk  mengumpulkan  harta  karun  pengetahuan
          kebahasaan dan sains” dan untuk mempelajari kehidupan sehari-hari orang
                               11
          Jawa, Madura, dan Bali.  Namun, meski dia benar-benar mengumpulkan
          observasi yang kaya (berikut manuskrip yang ganjil) di antara kunjungan-
          kunjungan  parokial,  banyak  hal  yang  dilihatnya  dia  bandingkan  yang
          dibacanya dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën karya Valentijn dan History of
          Java karya Raf  es. Oleh karena itu, dia tidak sekadar dibuat agak bingung
          oleh  tontonan  aneh  berupa  “pertunjukan  kedeboes”  yang  dia  saksikan  di
          Cianjur, yang tidak disebutkan oleh kedua pendahulunya. Sebenarnya, itu
          adalah ritual debus tarekat Rifa‘i, yang pernah dipraktikkan di istana Banten.
                                                                         12
          Namun, bagi van Hoëvell ritual itu hanyalah sarana para “pendeta” yang culas
          untuk memengaruhi orang-orang:

              Di  atas  alas,  duduk  lima  puluh  atau  enam  puluh  orang  dalam  dua  baris,
              termasuk anak-anak lelaki usia dua belas hingga enam belas tahun, masing-
              masing memegang rebana. Di ujung barisan, tergantung selembar kain linen
              merah  berbentuk  persegi  bertuliskan  kalimat  berbahasa  Arab  dengan  warna
              putih tentang puja-puji kepada Tuhan, Mohammed, para Malaikat, dan para
              Wali  Islam.  Di  sini  kami  sertakan  salinannya  untuk  mereka  yang  berminat
              menafsirkan omong kosong itu. Di belakang kain itu, duduk seorang pendeta
              yang  sudah  pergi  ke  Mekah  melaksanakan  haji  (hhadji)  [sic].  Di  depannya
              tergelar sehelai linen putih berisi beberapa benda yang disebut soelthan, jarum
              penusuk dari besi, ada yang panjangnya satu kaki dan ada yang lebih panjang
              atau lebih pendek. Satu ujung jarum itu tajam dan sebuah kepala yang lebar dari
              kayu tersambung dengan rantai besi di ujung yang lain. Selain benda itu, ada
              sepasang batu bulat berat, berdiameter sekitar satu kaki dan beberapa benda lain
              di hadapan sang pendeta. Di pangkuan pendeta terdapat bantal dan di atasnya
              terbuka sebuah manuskrip, yang dia baca dengan nada kaum Mohammedan
              pada umumnya. Di akhir setiap baris, semua orang dalam lingkaran mengulangi
              kata terakhir, dengan pekikan yang memekakkan disertai entakan rebana dan
   136   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146