Page 94 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 94
REFORMASI DAN MELUASNYA RUANG MUSLIM — 73
Barat kepadanya. Apa yang mendasari kritiknya pada masa yang lebih awal
itu? Sebagian jawabannya bisa ditemukan dalam persoalan silsilah karena
pergulatan politik di Kota Suci kerap dibingkai sebagai perdebatan mengenai
klaim garis keturunan Nabi. Baik Dahlan maupun ‘Utsman adalah para
125
penjaga cita-cita Suf sebagaimana dilihat dari lensa seorang sayyid. Dahlan
adalah seorang Khalwati terkenal dan penyebar Haddadiyyah, dan dia bahkan
disebut dalam salah satu karya Hadrami terkenal, Taj al-a‘ras (Mahkota para
Pengantin), sebagai keturunan ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Begitu pula, Sayyid
126
‘Utsman tampaknya merupakan anggota ‘Alawiyyah, dan kakeknya adalah
seorang guru di Mekah pada saat pendudukan Wahhabi. 127
Jika Snouck Hurgronje bisa dipercaya, ‘Alawiyyah, meski mengakui
kesahihan tarekat-tarekat, menempatkan diri mereka di puncak hierarki Suf
maupun sayyid. Memang kaum ‘Alawi kerap disebut dalam teks-teks tarekat,
128
dengan orang-orang seperti ‘Abdallah b. ‘Alawi al-Haddad (1634–1720) dan
‘Abdallah al-‘Aydarus berdiri berdampingan dengan para khalifah dan ‘Abd al-
129
Qadir al-Jilani. Sayyid ‘Utsman juga menyebut-nyebut ‘Abd al-Qadir yang
diyakini sebagai wali dalam pamf et-pamf etnya sebagaimana dia perlu meraih
penerimaan gagasan-gagasannya dengan mengutip para cendekiawan Jawi,
dari masa lalu dan masa kini. Mereka ini termasuk Muhammad Arsyad al-
Banjari dan belakangan, Nawawi dari Banten (1813–97), yang oleh Snouck
dalam magnum opus-nya digambarkan sebagai seorang teladan Suf sme “etis”
atau bahkan “ilmiah” yang rendah hati. 130
Pada waktu Snouck mengunjungi Mekah, Nawawi dari Banten sedang
memancangkan klaim sebagai otoritas akhir bagi banyak orang Jawa. Karya-
karyanya, yang ditulis di Mekah dan diterbitkan mulai Kairo hingga Surabaya,
tetap penting hingga hari ini. Sebaliknya, pamf et-pamf et Sayyid ‘Utsman
sekarang hampir menjadi sekadar barang aneh. Sementara ‘Utsman berusaha
menjangkau khalayaknya menggunakan bahasa Melayu, Nawawi memiliki
pandangan yang kurang menyenangkan terhadap bahasa ini sebagai wahana
kecendekiawanan. Namun, ini tidak berarti bahwa Nawawi menekankan
ijazah dengan mengorbankan akar Jawi-nya, karena alih-alih melampaui
jemaah Jawi, dia tetap merupakan sosok penting di dalamnya, dan gayanya
masih dianggap lebih bisa dipahami oleh khalayak Indonesia. Gaya bahasa
131
Arab serupa tampaknya juga memastikan penerimaan karya-karya ‘Abd al-
Hamid dari Kudus, yang juga aktif di Mekah dan mulai mencetak karya-
karyanya di Kairo pada 1891. 132
Tren ini tidaklah universal di kalangan ulama Jawi. Kecendekiawanan
Ahmad al-Fatani dan Zayn al-Din al-Sumbawi yang masih hidup, misalnya,
jelas menunjukkan rasa bangga terhadap penggunaan bahasa Melayu. Meski
133
demikian, Nawawi masih mewakili titik akhir sebuah golongan dalam tradisi
tekstual yang lebih luas yang telah kita diskusikan dalam bab-bab ini. Tata