Page 149 - Layla Majnun
P. 149
berencana untuk memberikannya apa yang dihasratkan oleh cinta? Dapat
kudengar hembusan napasmu untukku, tapi apakah itu sungguh-sungguh?
Akuilah dengan jujur karena kutahu bahwa kau tidak tulus, kuasamu atas
diriku tak lebih dari kekuasaan seorang tiran!”
“Mengapa kau bisa begitu tak berperasaan? Bukankah kau juga
merasakan kepedihanku? Mataku hanya tertuju kepadamu, dan setiap
kali aku mencari pertanda takdirku, yang kubayangkan hanyalah dirimu.
Hatiku mendambakan kedamaian, tapi di manakah aku dapat menemukan-
nya? Kedamaian hanya menjadi hak sosok yang diizinkan untuk meman-
dangmu, bukan seseorang yang hari-harinya dipenuhi oleh kesengsaraan
seperti diriku. Ia yang memiliki permata sepertimu pasti mendapatkan
kedamaian dan lebih lagi; ia yang memilikimu pasti akan memiliki dunia.”
“Tapi aku tak dapat memilikimu. Kaum pria menambang untuk
mencari harta, namun mereka akhirnya menyadari bahwa bumi takkan
menyerahkan harta terpendamnya dengan begitu mudahnya, bukankah
seperti itu keadaannya sejak dulu kala? Pandanglah taman! Sementara
burung bulbul menyanyikan ode-odenya kepada pohon ara, si burung gagak
justru mencuri daun-daun ara! Tukang kebun merawat pohon delima dengan
sepenuh hatinya, hanya untuk mengetahui bahwa buah-buahnya dibawa
dan diberikan kepada orang bodoh. Begitulah cara kerja takdir.”
“Kekasihku, kapankah kau akan terbebas dari monster yang kau
sebut sebagai suami ini? Kau adalah rembulan dengan segala keindahannya.
Kapankah, rembulanku, kapankah kau akan menyelamatkan dirimu dari
rahang sang naga? Kapankah para lebah akan pergi dan meninggalkan
madunya untukku? Kapankah cermin itu akan terbebas dari debu dan kem-
bali bersih dan berkilau? Kapankah ular penjaga itu akan mati sehingga
aku bisa membuka peti permata itu? Kapan, kapan, dan kapan?
“Tapi jangan kau pikir bahwa aku menumbuhkan perasaan benci
di hatiku untuk suamimu. Walaupun ia adalah sosok terdekat denganmu,
meskipun ia adalah ngengat yang terbang mengelilingi nyala lilinmu, aku
tetap tak menyimpan rasa dendam, kudoakan semoga ia menikmati cahaya-
mu, semoga ia berbahagia dengan nyala lilin itu! Namun tak dapat kupung-
kiri bahwa aku berharap…….”