Page 153 - Layla Majnun
P. 153
mutuskan bahwa ia harus mengunjungi keponakannya yang malang itu
dan melihat sendiri situasi yang dialaminya.
Siapa tahu, mungkin ada sesuatu yang dapat dilakukannya; mung-
kin saja masih ada jalan untuk membawa pria muda itu kembali pulang.
Dan begitulah Salim menaiki unta terkuat dan tercepatnya dan
segera pergi menuju belantara gurun. Perjalanan itu membutuhkan waktu
berhari-hari.
Di bawah sinar matahari yang panas menyengat, ia berkendara
dengan begitu cepatnya bagaikan angin. Ketika malam mulai menjelang,
ia menuju rombongan karavan terdekat untuk bermalam bersama para
musafir lainnya.
Saat perjalanannya semakin jauh ke jantung gurun, rombongan
karavan semakin jarang dijumpainya. Namun hal itu sama sekali tak meng-
halanginya.
Persediaan makanan serta minumannya hampir habis, ia berken-
dara secepat angin hingga pada akhirnya ia menemukan keponakannya
yang terasing di gurun yang tak pernah dikunjungi oleh manusia mana pun.
Namun Majnun tak sendirian. Salim melihat keponakannya dike-
lilingi hewan-hewan liar, seolah Majnun telah mengumpulkan semua hewan
di gurun dan dataran dan menjadikan mereka sebagai pasukannya.
Begitu Salim berjalan mendekati mereka, ada rasa takut yang
menjalarinya. Ia berhenti dan meneriakkan salam, terlalu takut untuk tu-
run dari untanya.
“Siapa Anda?” begitu jawaban yang diterimanya. “Siapa Anda dan
apa yang Anda lakukan di sini?”
“Nama saya Salim, dari suku Amir. Aku juga adalah boneka per-
mainan takdir, jika kau ingin tahu. Tidakkah kau mengenaliku? Dapat kulihat
kalau matahari telah menghitamkan wajahmu dan mengubahmu sedemi-
kian rupa hingga kau sulit untuk dikenali, tapi aku tak banyak berubah! Tak
dapatkah kau lihat bahwa aku adalah pamanmu?”
Saat mengenali tamunya, Majnun melarang hewan-hewannya
menyerang sang tamu. Lalu ia membantu Salim turun dari untanya, mem-
berikan salam dengan gaya biasa dan menyilakan pamannya duduk.