Page 155 - Layla Majnun
P. 155

Sekali lagi Salim memaksanya dan lagi-lagi Majnun merasa tak
              punya pilihan lain selain menuruti kemauan pamannya.
                     Lalu Salim mengambil sehelai kain dari tasnya, menggelarnya
              di tanah dan memenuhinya dengan makanan yang telah dibawanya: roti
              dan kue-kue, daging-daging yang dimasak dengan bumbu manis dan juga
              gurih. Siapa yang sanggup menolak hidangan selezat itu?
                     Tapi semakin Salim memaksa, semakin keras kepala pula Majnun,
              menolak untuk makan barang sedikit pun. Majnun malah mengambil ma-
              kanan itu dan melemparnya kepada para hewan, tertawa keras begitu
              hewan-hewan itu memakan makanan itu dan meminta lebih banyak lagi.
                     Salim terpana dengan pemandangan itu, dan saat Salim menya-
              dari bahwa tak ada yang dapat dilakukannya untuk membuat Majnun
              kembali sadar, ia berkata, “Baiklah, kau tak mau makan. Tak apa-apa. Tapi
              katakan kepadaku apa yang membuatmu tetap hidup? Kau adalah manusia
              biasa,  sama  sepertiku  dan  seorang  manusia  membutuhkan  makanan.
              Katakan padaku apa yang kau makan?”
                     Majnun menjawab, “Pamanku tersayang, nama paman Salim
              berarti ‘kuat dan sehat’, begitulah kata-kata yang tepat untuk mengung-
              kapkan hatiku! Aku sehat dan baik-baik saja, bahkan jika mulut serta perut-
              ku telah melupakan bagaimana caranya makan. Sebenarnya aku tak lagi
              memiliki keinginan untuk menikmati makanan, beberapa potong akar
              dan buah beri cukup untukku.
                     “Cukup itu saja kebutuhanku. Bukan aku satu-satunya makhluk
              di sini, dan seperti yang paman lihat, hewan-hewanku akan senang sekali
              menerima makanan yang telah paman bawa. Hanya dengan melihat me-
              reka makan membuat perutku terasa kenyang!”
                     Salim memikirkan ucapan keponakannya selama beberapa saat,
              lalu tersenyum. Ia berkata, “Mungkin kau benar. Lagipula, burung-burung
              bisa terjebak dalam perangkap karena kerakusan mereka; bukankah ma-
              nusia juga begitu? Rasa lapar kita adalah perangkap yang digunakan oleh
              takdir untuk menjebak kita, semakin besar rasa tamak itu maka semakin
              besar pulalah bahaya yang akan dihadapi.”
   150   151   152   153   154   155   156   157   158   159   160