Page 160 - Layla Majnun
P. 160

“Putraku tersayang, apa yang harus kulakukan kepadamu? Apakah
            bagimu hidup tak lebih dari sebuah permainan cinta yang sangat panjang?
            Ayahmu telah terjatuh oleh pedang kematian, sebuah pedang yang kini
            juga tengah menghantuiku. Namun demikian, kau masih juga memabukkan
            dirimu dengan minuman yang penuh dengan kesenangan masa muda!
            Berapa lama lagi hal ini akan berlangsung? Ayahmu meninggal karena
            kesedihannya dan aku akan segera mengikutinya dengan cara yang sama,
            percayalah. Tidakkah kau ingin mengembalikan akal sehatmu? Demi Allah,
            kembalilah pulang denganku dan akhirilah penderitaan ini. Ambillah pe-
            lajaran dari para burung dan hewan-hewan di alam liar ini, bukankah me-
            reka semua kembali pulang ke sarang mereka saat malam tiba? Bukankah
            itu sebuah contoh yang sepatutnya kau tiru? Berapa lama lagi kau akan
            menjauhkan dirimu dari dunia ini? Berapa lama lagi kau akan berkelana
            di alam liar ini tanpa tidur maupun ketenangan?”
                   “Hidup adalah sebuah kisah dan tangisan; dalam beberapa hari
            semuanya akan berakhir. Kembalilah sekarang selagi kau bisa dan berikan
            dirimu ketenangan, kumohon kepadamu! Untuk apa kau jadikan gua kotor
            ini sebagai rumahmu? Apakah bagimu gua beserta isinya ini lebih mem-
            perhatikanmu daripada kami? Ular-ular itu akan menggigitmu dan kemu-
            dian ketika kau mati, burung hering akan memakan tulang belulangmu.
            Tinggalkan mereka dan kembalilah denganku; jangan lagi kau siksa jiwamu
            yang malang ini. Jiwamu bukanlah batu yang dapat bertahan terhadap
            kuatnya berbagai elemen; hatimu juga bukanlah batu, karena memang
            kau tak terbuat dari batu. Biarkan jiwamu beristirahat dan berikan kete-
            nangan untuk hatimu. Kembalilah denganku!”
                   Kata-kata ibunya menyengatnya bagaikan sekumpulan lebah,
            namun Majnun tetap tak mengubah pikirannya. Di sinilah ia berada, dan
            di sini pulalah ia akan tinggal. Ia meraih tangan ibunya dan berkata dengan
            lembut:
                   “Ibuku tersayang, aku seolah menjadi mutiara yang telah menyiksa
            tiram; aku menyadari hal ini dengan sangat baik namun aku tak dapat
            melihat adanya pilihan lain. Apakah salahku jika demikian? Keadaanku
            memang sangat menyedihkan, tapi aku tidak merengkuh takdir dengan
   155   156   157   158   159   160   161   162   163   164   165