Page 159 - Layla Majnun
P. 159
nya rasa maluku hingga aku tak berani mendekatinya. Meskipun begitu,
aku sangat ingin melihat wajahnya yang cantik itu sekali lagi!”
Salim memutuskan untuk membuat keinginan Majnun terpenuhi;
lagipula, mungkin ibunya dapat membujuk putranya yang pembangkang
ini untuk kembali pulang ke rumahnya dan juga kembali ke perlindungan
sukunya. Meskipun Majnun hidup bagaikan hewan liar, ia tetaplah manusia
– dan bukankah manusia sepatutnya berkumpul dengan sesama manusia?
“Baiklah, akan kubawakan ibumu kemari,” kata Salim begitu ia pergi.
Ia memang menepati ucapannya. Beberapa hari kemudian ia kem-
bali ke tempat persembunyian Majnun dengan membawa ibunya.
Tak membutuhkan waktu lama bagi si wanita tua itu untuk me-
ngenali putranya. Tapi pada saat itu pula hatinya hancur. Betapa mawar
muda itu telah layu, betapa gelapnya masa muda putranya! Begitu ia
berlari mendekati putranya, hewan-hewan liar peliharaan Majnun mulai
menggeram, tapi ia tak merasa takut pada hewan-hewan itu. Apalah arti-
nya hewan-hewan liar itu baginya? Pikirannya hanya tertuju kepada
putranya yang malang dan tak bahagia. Ia memeluk putranya, terisak dan
menarik napas panjang, membelai lembut pipi serta rambut putranya
dengan jemarinya yang lemah. Dengan cinta tanpa syarat yang hanya
bisa diberikan oleh seorang ibu, ia menutup masa lalu serta ketidakadilan
yang telah dideritanya dan meletakkannya di tangan putranya: ia berada
di sana saat putranya membutuhkannya, tanpa pertanyaan, tanpa persya-
ratan, terikat kepadanya oleh ikatan kelembutan hati dan perhatian yang
ada di antara mereka.
Dengan airmata membanjiri mata mereka, ia mengusap wajah
putranya, wajah yang begitu dikenalnya namun sekaligus asing; dari lipat-
an gaunnya ia mengambil sisir dan menyisir rambut putranya yang kusut
tak keruan, seolah ia hanyalah seorang bocah lelaki kecil. Sang ibu berbisik
di telinga putranya sambil membelai-belai pipinya, ia membalut luka-luka
di tubuh putranya yang diakibatkan oleh duri serta bebatuan. Perlahan,
makhluk liar itu mulai tampak kembali seperti Qays yang dicintainya, si
bocah riang yang dulu dikenalnya, hartanya yang paling berharga, yaitu
putranya. Sambil mengusap airmatanya, ia mulai bicara: