Page 162 - Layla Majnun
P. 162

Majnun duduk sendirian, jauh dari manusia-manusia lainnya, men-
            dendangkan ode demi ode dalam kesendiriannya. Baginya, malam maupun
            siang sama sekali tak ada artinya. Seorang pria dalam kondisinya tak pernah
            mencatat berlalunya hari. Ia adalah seorang asing bagi peristiwa-peris-
            tiwa yang terjadi di dunia nyata; ia takkan pernah tahu bahwa ibunya telah
            pergi meninggalkan dunia jika pamannya yang datang membawakannya
            makanan serta pakaian tidak menyampaikan berita itu kepadanya.
                   Salim memegang bahu keponakannya dan dengan pelan berkata,
            “Selama hidupnya, ibumu telah menderita karena kesedihannya dan kini
            ia telah meninggal dunia. Ia sudah mempersiapkan kematiannya, karena
            itu ia telah mengucapkan selamat tinggal kepada penderitaan untuk me-
            nuju tempat yang lebih baik. Kau tidak berada di sisinya ketika ia pergi,
            namun pikirannya hanya tertuju kepadamu. Menjelang kematiannya,
            ia sangat merindukanmu, sama seperti yang dirasakan oleh ayahmu sebe-
            lum ia meninggal.”
                   Majnun merasa perutnya bergejolak oleh hantaman tak terlihat
            dan ia menahan napas. Lalu dengan tekanan di hatinya, ia mencakar wajah-
            nya dengan kuku-kukunya yang bergerigi. Ia melompat-lompat sambil ber-
            teriak bagaikan banshee, dan bergegas menuju makam ibunya yang ber-
            ada di sebelah makam ayahnya. Di sana ia membenamkan wajahnya di
            tanah tempat ayah dan ibunya terbaring dan menunggu tiba saatnya
            untuk ditanyai oleh para malaikat di hari kiamat. Tangisannya terdengar
            sampai di surga dan airmatanya cukup untuk membuat banjir gurun.
            Namun ia mengetahui apa yang telah kita semua ketahui: tak ada tangisan
            dan airmata yang dapat mengembalikan apa yang telah diambil oleh Allah.
            Mereka-mereka yang mendengar ratapannya pasti akan merasa iba.
            Keluarga serta para anggota sukunya bergegas ke sisinya. Mereka semua
            tak tega melihatnya hancur karena keputusasaaan. “Terimalah rasa simpati
            kami,” kata mereka. “Kesedihanmu adalah kesedihan kami juga, dan rumah
            kami adalah rumahmu juga. Kembalilah dan tinggalah bersama kami, karena
            di sinilah kau seharusnya berada. Tetaplah bersama kami dan jangan pergi
            lagi!”
   157   158   159   160   161   162   163   164   165   166   167