Page 165 - Layla Majnun
P. 165

dengan kenyataan bahwa Majnun telah melukai dirinya sendiri dengan
              begitu parahnya.
                     Ia juga merasa sakit karena cemburu, ia mencemburui kebebasan
              Majnun. Kekasihnya yang berada di belantara gurun dapat melakukan apa
              saja yang dikehendakinya, sementara dirinya menjadi tawanan. Telah begitu
              lama ia menjadi seorang tawanan hingga ia tak ingat lagi: awalnya ia men-
              jadi tawanan ayahnya, kini ia adalah tawanan suaminya.
                     Layla memang dicintai, dimanja, dielu-elukan dan dihormati –
              namun ia tetaplah seorang tawanan. Suaminya menuruti kehendaknya
              bahwa ia tak bersedia disentuh olehnya. Meskipun demikian, pria itu menum-
              buhkan harapan agar ia dapat menaklukkan Layla dan memenangkan
              hatinya dengan kelembutan, lalu mengurungnya untuk selamanya di dalam
              benteng cintanya. Karena itulah ia bersedia menunggu, menjaga gerbang
              yang tak boleh dimasukinya dengan penuh kecemburuan. Dan Layla juga
              menanti……..
                     Hingga di suatu malam gelap di mana rembulan enggan bersinar
              – Layla telah mendapat firasat bahwa malam itu lain dari biasanya – penjaga
              di luar tendanya tertidur pulas dan ia bisa melarikan diri! Tapi ke manakah
              ia akan pergi? Dengan mengikuti suara hatinya, ia berlari di tengah kege-
              lapan hingga ia berada di tepi hutan palem di mana dua jalur bertemu
              – tempat yang sama dengan bertemunya ia dengan si pengendara kuda
              yang membawakan suratnya untuk Majnun. “Siapa tahu?” bisik suara
              hatinya, “mungkin doa-doamu akan terjawab dan kau akan menerima kabar
              darinya di tempat ini.”
                     Dan begitulah yang terjadi. Begitu ia tiba di persimpangan ia me-
              lihat sosok di kegelapan yang mendekat ke arahnya, sosok yang langkah-
              langkahnya tampak telah digerakkan oleh kekuatan hati yang aneh. Dengan
              segera ia tahu bahwa sosok itu adalah seorang pria tua. Tapi siapakah
              dia? Mungkinkah ia Khidr, sang penyampai pesan Allah? Ia tak peduli,
              karena jauh di dasar hatinya ia tahu bahwa ia akan menemui pria itu di
              sini; identitas pria itu tak berarti baginya.
                     Tanpa ragu-ragu, Layla melangkah maju dan berkata, “Berita
              apakah yang Anda bawa dari surga, pria tua? Apakah yang sedang dila-
   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170