Page 166 - Layla Majnun
P. 166

kukan oleh kekasihku di alam liar? Kepada siapakah mimpi-mimpinya
            tertuju? Dan apakah yang dikatakannya?”
                   Pria tua itu tak merasa terkejut melihatnya, ataupun tercengang
            dengan kata-katanya. Dengan pelan dan penuh kelembutan, ia berkata,
            “Tanpa sinar kecantikanmu yang bagaikan rembulan, pria yang kau bicara-
            kan bagaikan Nabi Yusuf muda yang berada di dalam sumur. Jiwanya bagai-
            kan lautan di malam musim dingin, didera oleh seribu badai di bawah langit
            tak berbulan. Bagaikan dirasuki oleh roh bentara, ia mengembara di pegu-
            nungan, menjerit-jerit dan berteriak-teriak.
                   “Tak ada kata lain yang diucapkannya kecuali ‘Layla’. Hanya Layla-
            lah yang dicarinya. Dan begitu tersesatnya ia dalam pencariannya hingga
            ia tak lagi mengenali dirinya. Entah menuju ke mana jalan yang ditempuh-
            nya, karena tak ada tujuan lain selain Layla.”
                    Ketika Layla mendengarnya, matanya dipenuhi airmata dan ia
            menjadi alang-alang yang menyanyikan irama sedih tentang cinta yang
            tak terbalaskan. Ia berkata, “Semua ini salahku: akulah yang telah menyala-
            kan api di hati kekasihku dan menjadikannya abu! Betapa aku mendamba
             untuk dapat berada di sisinya saat ia menghadapi masalah! Meskipun
            kami menghadapi penderitaan kami dengan cara berbeda. Akulah yang
            terperangkap di dalam sumur bagaikan Nabi Yusuf: Majnun hidup bebas.
            Ia bebas untuk menjelajahi pegunungan sementara aku terpenjara di
             lembah ini! Aku harus bertemu dengannya dan aku akan menemuinya!”
                   Layla mengambil permata yang menghiasi anting-antingnya,
            menciumnya kemudian menyerahkannya kepada si pria tua itu sambil
             berkata, “Permata ini untuk Anda, sebagai hadiah karena aku telah menyu-
            sahkan anda. Nah sekarang, pergi dan temui Majnun lalu bawa ia ke
             sini. Aku hanya ingin bertemu dengannya, untuk menatap wajahnya barang
            sekejap  saja,  untuk  merasakan  sinar  wajahnya  untuk  sesaat  saja!”
                   “Bagaimana lagi aku bisa mengetahui kabarnya? Bagaimana
            lagi caraku untuk mengetahui kesetiaannya padaku? Siapa tahu, mungkin
            ia akan mendendangkan beberapa sajaknya untukku, sajak-sajak yang tak
            pernah didengar oleh siapa pun sebelumnya. Mungkin jika aku mende-
   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170   171