Page 154 - Layla Majnun
P. 154
Dengan penuh sopan dan santun, ia bertanya tentang teman-
teman dan keluarganya serta kabar kesehatan pamannya; Salim begitu
terkejut tatkala mengetahui bahwa keponakannya sama sekali tak kehilang-
an kesopanannya. Bagi seorang pria yang hidup di alam liar, Majnun tetap
tak kehilangan akalnya, pikir Salim.
Apakah ia berhak untuk menerima julukan si ‘Majnun’, si gila?
Memang benar, penampilan luarnya menunjukkan keliarannya, tapi apakah
layak seseorang dinilai hanya berdasarkan penampilan luar semata?
Tatkala memandangi putra kakak perempuannya dari atas hingga
ke bawah, Salim merasakan malu dan kesedihan mengalir di hatinya. Ba-
gaimana mungkin tragedi ini bisa terjadi?
Memang, semua yang terjadi adalah tragedi. Di hadapannya duduk
seorang pria muda, keturunan keluarga terhormat, permata bagi mahkota
suku Amir, telanjang bagaikan di hari ia terlahir ke dunia ini, berjalan bagai-
kan mayat yang baru saja dibangkitkan dari makamnya, dan dikelilingi
oleh hewan-hewan liar dan buas! Tak ada satupun orang terhormat – atau
pria manapun - yang harus mengungkap dirinya seperti ini, bahkan tidak
di tempat yang terpencil seperti ini di mana hanya ada bintang gemi-
ntang, bebatuan serta hewan-hewan liar yang dapat melihatnya. Situasi
ini benar-benar tak dapat ditolerir!
Salim tak mampu lagi menghadapinya. Ia mencari-cari dalam tas-
nya dan mengeluarkan sebuah syal.
“Maafkan aku, keponakanku!” katanya sambil memalingkan pan-
dangannya, “Tapi kumohon agar aku menutupi tubuhmu dengan syal
ini. Sungguh tidak pantas bagimu untuk berjalan-jalan tanpa sehelai be-
nang pun melekat pada tubuhmu – setidaknya saat aku berada di sini ber-
samamu.”
“Apa perlunya aku mengenakan pakaian, Paman?” tanya Majnun
sambil mengembalikan syal itu. “Tubuhku sudah cukup hangat tanpa me-
ngenakan apapun.”
“Hatiku adalah tungku perapian yang berbahan bakar cinta, jika
syal itu kukenakan maka rasa hangat yang berasal dari hatiku akan mela-
hapnya dalam hitungan detik.”