Page 150 - Layla Majnun
P. 150

“Oh, apalagi yang dapat kukatakan? Kau adalah segalanya bagiku:
            kebaikanku, keburukanku, penyakitku, serta obatku.”
                   “Maafkan aku, kekasihku! Maafkan aku apabila aku telah menje-
            lek-jelekkan kebaikanmu serta integritasmu. Maafkan aku karena telah
            mencurigaimu. Aku tahu bahwa tak ada seorang pun yang telah menyerang
            bentengmu; aku tahu bahwa kerang yang menjaga mutiara itu masih tetap
            utuh; aku tahu bahwa tak ada seorang pun yang memutar kuncinya dan
            membuka pintu hartamu. Aku tahu tentang semua itu, namun……”
                   “Demi cinta Allah, kau tahu apa yang diperbuat oleh hasrat ke-
            pada jiwa sepertiku! Kecemburuan menghasilkan pikiran-pikiran buruk
            serta kecurigaan. Kau tahu berapa lama aku mendambakan untuk berada
            di dekatmu, aku bahkan memiliki kecemburuan terhadap nyamuk kecil
            yang menempel pada kulitmu. Bagi pikiran seseorang yang dikuasai oleh
            cinta, bahkan nyamuk pun dapat bertransformasi menjadi burung hering;
            lalu demam menyerangku dan aku tak dapat beristirahat hingga bayangan
            burung hering itu hilang dari benakku. Tapi bagaimana caranya? Ibn Salam,
            suamimu, adalah seorang pria terhormat. Tapi apa gunanya bagiku menge-
            tahui hal itu? Apalah artinya kehormatannya? Bagiku, ia sedikit lebih baik
            dari pencuri biasa yang mengagumi benda-benda yang telah dicurinya.
            Dan di sanalah ia berada, mengkhawatirkan mawar yang seharusnya bukan
            miliknya, tak dapat tidur karena memikirkan mutiara yang sebenarnya
            bukanlah hartanya!”
                   “Kekasihku tersayang, hidupku serasa bergerak mundur sejak
            aku mulai mencintaimu, bibirku kering dan mataku buta karena airmata
            yang selalu menggenang. Tak dapat kau bayangkan betapa aku telah menjadi
            seorang yang gila, ‘majnun’. Bukan saja aku telah kehilangan dunia, namun
            aku juga telah kehilangan diriku sendiri.”
                   “Namun jalan menuju cinta sejati hanya dapat ditempuh oleh
            mereka-mereka yang siap untuk melupakan diri mereka sendiri. Demi
            cinta dan kesetiaan, mereka harus membayar dengan darah yang mengalir
            ke jantung mereka dan ketenangan jiwa mereka. Jjika tidak, maka cinta
            mereka takkan berarti apa-apa. Kau membimbingku dengan cara menun-
   145   146   147   148   149   150   151   152   153   154   155