Page 144 - Layla Majnun
P. 144

“Kesedihanmu untuk ayahmu dan airmatamu mengalir bagai-
            kan hujan di musim semi, tapi ingatlah, ayahmu mungkin memang telah
            pergi, namun putra ayahmu masih tetap ada! Bebatuan itu mungkin telah
            pecah dan hancur, namun permata berharga yang dulu tersembunyi di
            dalamnya kini telah terbebas!”
                   Majnun membaca surat itu berkali-kali, matanya membelalak
            semakin lebar setiap kali ia membacanya. Sekian lamanya ia mencoba me-
            nahan diri, tubuhnya gemetar bagaikan kuncup bunga yang bersiap akan
            mekar. Yang dapat dikatakannya hanyalah, “Ya Allah!”
                   Ia melipat surat itu dan duduk. Pada saat itulah airmata mengalir
            di pipinya dengan begitu derasnya. Tangisannya tak terkontrol sementara
            sang penyampai pesan memandangnya. Lalu, Majnun meraih tangan
            sang penyampai pesan dan mulai menciuminya dengan senang. Akhirnya
            ia menunduk dan menciumi kaki pria tua itu. Ketika ia telah mendapatkan
            ketenangannya kembali, ia memutuskan bahwa ia harus segera membalas
            surat Layla. Tapi bagaimana caranya? Sang penyair yang kata-kata bijak-
            nya dikenal di seluruh penjuru Arab itu tak pernah sekalipun menuliskan
            sajak-sajaknya dalam kertas. “Apa yang harus kulakukan?” jeritnya, “Aku
            tak mempunyai perkamen ataupun pena.”
                   Si pria tua itu tersenyum, lalu mengeluarkan wadah kulit dari tas-
            nya, membukanya dan mengambil apa saja yang dibutuhkan oleh Majnun
            untuk membalas surat sang kekasih: pena, perkamen, tinta dan stempel.
            “Ini,” katanya dengan senyum tersungging di bibirnya, “silakan!”
                   Majnun mengucapkan terima kasih kepada si pria tua itu dan
            duduk bersila di tanah dengan perkamen di lututnya. Lalu dengan sapuan
            lembut penanya, ia mulai menulis. Kata-kata keluar begitu mudahnya,
            ia tak perlu berpikir panjang untuk menulis. Berapa lama kata-kata itu
            terpendam dalam hatinya, dipelihara oleh cinta, kesedihan, serta penderi-
            taan akibat perpisahan! Kini ia mengukur kedalaman jiwanya sendiri
            bagaikan seorang penyelam yang menarik mutiara demi mutiara yang
            dirangkaikan dalam sebuah kalung yang berisikan kata-kata, titik, koma,
            serta hiasan. Bagian demi bagian ia satukan untuk menggambarkan ke-
            sedihannya.
   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149