Page 142 - Layla Majnun
P. 142

lakukan! Aku bersamamu dengan setulus cintaku dan sepenuh hatiku,tapi
            bagaimana dengan dirimu? Dengan siapa kau menghabiskan waktumu?
            Fisik kita memang terpisah namun jiwa kita tetap satu.”
                   “Memang benar aku telah menikah. Aku memiliki suami, tapi
            bukan seorang kekasih; ia tak pernah berbagi peraduan denganku. Perca-
            yalah, situasi ini telah membuatku lelah hingga aku tak lagi punya kekuatan
            untuk berpikir, tapi aku berjanji kepadamu, tak ada seorang pun yang
            telah menyentuh hartaku. Hal itu akan tetap tertutup bagaikan kuncup
            bunga yang mempesonakan namun takkan pernah mekar. Suamiku tetap
            menunggu, di balik pintu yang kuncinya tersembunyi dari pandangannya
            dan tak diperbolehkan untuknya.”
                   “Ia adalah seorang pria yang terkenal dan terhormat, namun
            apalah artinya semua itu bagiku? Dibandingkan denganmu, sayangku, ia
            sama sekali tak berarti. Kala dilihat dari kejauhan, bahkan bawang putih
            liar pun tampak bagaikan bunga lili. Meskipun begitu, jika kau cium baunya,
            kebenaran pun terungkap. Bawang putih liar tak layak untuk dipetik!”
                   “O, cintaku! Betapa kuberharap kita dapat bersama, tapi itu tak
            terjadi. Takdir telah menetapkan bahwa kita tetap terpisah, dan begitulah
            yang harus terjadi. Apakah aku harus dipersalahkan atas hasil karya sang
            Takdir? Hatiku menangis saat memikirkannya.”
                   “Sayangku! Kirimkan seikat rambutmu – hal itu akan sangat ber-
            arti untukku. Kirimkan padaku salah satu duri yang berada di jalanmu,
            dan aku akan merawatnya hingga ia tumbuh menjadi taman bunga mawar
            di hadapanku! Ke manapun kau melangkah, gurun berubah menjadi
            taman bunga: kau adalah Khizr-ku, penyampai pesanku dari Allah, sumber
            mata air kehidupanku! Aku adalah rembulan dan kau adalah matahari-
            ku, menyinariku dari kejauhan; maafkan aku karena orbit yang berbeda
            membuat kita selalu terpisah.”
                   “Aku telah mendengar kabar kematian ayahmu dan hal itu mem-
            buatku sedih; aku merasa seolah ayahkulah yang telah meninggalkanku.
            Untuk menghormatinya, aku mengenakan jubah biru tua, bagaikan bunga
            violet gurun dan selama berhari-hari airmata tak berhenti menetes dari
            mataku. Apakah kau mengerti, sayangku?”
   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147