Page 138 - Layla Majnun
P. 138

dapat ditolak oleh makhluk-makhluk lemah seperti pria. Majnun hancur,
            pikirannya melemah dan sakit. Kematian ayahnya membuatnya semakin
            menderita.”
                   “Hari demi hari, takdir menebarkan duri di jalan yang dilaluinya
            dan kini ia telah menjadi seorang penyair yang mencatat ketidakberuntung-
            annya sendiri. Sajak-sajaknya menceritakan kisah hidupnya, dan kisah
            hidupnya adalah kisah tentang cinta dan penderitaan. Airmata menetes
            dari matanya bagaikan hujan di tengah musim semi, dan saat ia berbicara
            mengenai ayahnya yang telah tiada, kata-katanya akan meluluhkan hati
            yang beku sekalipun.”
                   “Lalu aku mendendangkan beberapa sajak ciptaanmu, yang per-
            nah kudengar di pasar dan kuhafalkan dalam ingatanku. Desah napas
            panjang keluar dari bibirnya dan kepalanya terkulai seolah akan pingsan
            atau mati. Ia terisak-isak hingga airmatanya terkuras habis. Dan saat me-
            nangis, ia mengucapkan doa untuk ketenangan jiwa ayahmu.”
                   “Ia ingin menemanimu karena ia tahu kau sendirian, dipisahkan
            dari dirinya dan ayahmu tercinta, tapi apa yang dapat dilakukannya?”
                   “Tiba-tiba saja ia mendapatkan sebuah ide. Ia menunjukkan tenda-
            nya dari kejauhan dan berkata, ‘Anda adalah seorang pria jujur yang me-
            miliki ketulusan hati. Saya memercayai Anda. Saya akan kembali ke tenda
            saya dan saya akan menulis surat untuk Majnun. Berjanjilah bahwa Anda
            akan kembali esok hari agar saya dapat menyerahkan surat untuk Anda
            berikan kepadanya. Maukah Anda berjanji kepada saya?’
                   “Saya pun berjanji kepadanya, dan keesokan harinya saya me-
            nuju tendanya. Sebagai tanda berduka cita atas kematian ayahmu, ia
            mengenakan pakaian berwarna biru tua: ia bagaikan bunga violet yang
            paling cantik di gurun. Dalam lipatan roknya ia menyembunyikan sebuah
            surat. Inilah surat yang kumaksud!”
                   Sang pengantar surat berusia tua itu mengambil surat dari tasnya
            dan menyerahkannya kepada Majnun. Awalnya, Majnun tak menunjukkan
            reaksi apapun. Ia menatap perkamen yang ada di tangannya seolah ia se-
            dang bermimpi.
   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143