Page 136 - Layla Majnun
P. 136

Si pria tua itu menghembuskan napas panjang, menghapus air-
            mata yang menetes dari matanya dan melanjutkan, “Percayalah, ia me-
            nikah karena rasa takut, pada kenyataannya, kaulah satu-satunya yang
            diharapkannya. Saat ia berbicara, airmata menggenangi matanya; bagai-
            kan kerudung yang menghalangi sinar matahari. Pemandangan itu akan
            menggetarkan hati siapa saja, bahkan hati terdingin sekalipun!”
                   “Aku mendekatinya dan bertanya siapa dirinya dan mengapa
            ia begitu sedih. Ia mengangkat wajahnya, dengan senyum lemah tersung-
            ging di bibir merahnya ia berkata, ‘Mengapa Anda melumuri luka saya
            dengan garam? Saya dulu adalah Layla, tapi kini saya bukanlah Layla lagi.
            Kini saya sudah gila, lebih ‘majnun’ dari seribu Majnun. Ia mungkin seorang
            penganut agama yang gila, pengelana liar yang tersiksa karena cinta,
            tapi percayalah, penderitaan saya seribu kali lebih buruk!”
                   “Memang benar, ia adalah sasaran bagi panah-panah kesedihan,
            tapi begitupun saya – dan ia adalah seorang pria, sementara saya adalah
            seorang wanita! Ia bebas dan dapat mencurahkan kepedihannya kepada
            pegunungan; ia dapat bepergian ke manapun ia mau, ia bisa menangis,
            berteriak dan mengekspresikan perasaan terdalamnya dalam sajak-sajak-
            nya. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya adalah seorang tawanan yang
            tak mampu berbuat apa-apa. Saya tak bisa berbicara dengan siapa pun
            karena tak ada seorang pun yang dapat saya percayai; jika saya membuka
            hati saya kepada semua orang yang ada di sekitar saya, maka rasa malulah
            yang akan saya dapatkan sebagai balasannya. Madu berubah menjadi racun
            di dalam mulut saya dan segala sesuatu yang saya sentuh berubah menjadi
            debu. Siapa yang tahu bagaimana perasaan saya? Siapa yang tahu bagai-
            mana penderitaan saya? Saya memasang topeng keberanian pada wajah
            saya, saya tutupi seluruh penderitaan saya dengan senyuman serta tawa
            palsu, tapi sepanjang waktu saya terbakar, terbakar, dan terbakar!”
                   “’Cinta menjerit-jerit di dalam hati saya, ‘Larilah selagi kau bisa,
            terbang menjauhlah dari ayahmu yang seperti burung gagak dan suamimu
            yang bagaikan burung hering!’ Tapi kemudian saya diperingatkan oleh
            akal sehat saya yang berkata, ‘Jangan, dengan terbangnya dirimu hanya
   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141