Page 176 - Layla Majnun
P. 176
kesedihanmu. Api cinta yang telah menyala pada dirimu itu tak lebih dari
sekadar masa mudamu; tatkala sosok muda itu menjadi dewasa, api yang
menyala dalam dirinya itu akan mereda. Percayalah kepadaku, karena
aku berbicara sejujurnya.”
Maksud Salam sebenarnya baik, demikian pula sarannya. Namun
sulit bagi Majnun untuk meredakan amarahnya. Dengan suara bergetar
ia berkata, “Kau anggap apa aku? Apakah bagimu aku seorang pemabuk?
Seorang pria malang yang menderita karena cinta dan dibuat gila oleh
hasratnya sendiri? Tidakkah kau paham bahwa aku telah jauh melewati
keadaan itu? Aku telah bangkit dari semua itu, karena aku adalah sang Raja
Cinta dengan segala keagungannya. Jiwaku telah bebas dari nafsu, ke-
inginanku telah bebas dari segala sesuatu yang mendasar dan tak perlu,
pikiranku telah bebas dari segala sesuatu yang memalukan. Aku telah mem-
buka ikatan hasrat yang dulu memenuhi hatiku, tidakkah kau lihat itu?”
“Cinta adalah api; aku adalah kayu yang telah dijadikan abu oleh
nyalanya. Cinta telah diruntuhkan oleh kuil keberadaanku; jiwaku telah me-
ngumpulkan segala miliknya dan melanjutkan perjalanan. Apakah kau
pikir dirikulah yang kau lihat di hadapanmu?”
“Kau salah; kau membayangkan bahwa kau melihat diriku, namun
dalam kenyataannya keberadaanku tak lagi ada. Aku telah hilang, dan
hanya cintakulah yang tersisa.”
“Dan apakah kau pikir, barang sedetik saja, bahwa lautan cinta
ini, yang dihantam badai kesedihan, dapat ditenangkan atau mengering?
Takkan pernah – bahkan hingga bintang kehilangan cahaya atau api nera-
ka kehilangan panasnya! Apakah kau benar-benar berpikir bahwa cinta
ini dapat disingkirkan dari hatiku? Berarti kau lebih bodoh dari yang kukira!
Hari di mana cinta itu tersingkir dari hatiku akan menjadi hari di mana kau
dapat menghitung butiran pasir di gurun ini!”
“Jika kau ingin berbicara denganku, maka pikirkanlah terlebih
dahulu apa yang hendak kau katakan! Dan jika kau menganggap hidupmu
berharga, maka kau akan menyimpan omong kosong itu untuk dirimu
sendiri.”