Page 143 - Perspektif Agraria Kritis
P. 143

Perspektif Agraria Kritis



                     lima  orang  per  hektare),  data  dari  lapangan
                     mengindikasikan  bahwa  satu  perusahaan  sawit
                     yang mapan menggunakan hanya satu pekerja
                     per  empat  hingga  sepuluh  hektare,  tergantung
                     pada  efisiensi  dan  tahap  produksinya.  Rasio
                     lapangan kerja bahkan lebih kecil lagi apabila
                     ditinjau  dalam  kaitan  dengan  opportunity  cost
                     dari lahan yang dialokasikan untuk perusahaan
                     perkebunan  besar  namun  belum  kunjung
                     dimanfaatkan.  Sebagai  misal,  di  Kabupaten
                     Sambas,  Kalimantan  Barat,  15  perusahaan
                     menguasai  199.200  hektare  pada  2016  dan
                     mempekerjakan hanya 1.944 orang, yakni rasio
                     1:  100.  Di  pihak  lain,  petani  skala  kecil  non-
                     kelapa  sawit  di  Sambas  mencakup  80,000
                     hektare dan menciptakan sumber penghidupan
                     bagi  207.350  orang.  Jika  kita  kesampingkan
                     anak-anak,  rasio  lapangan  kerja  per  hektare
                     untuk tenaga kerja dewasa rata-rata adalah 1: 1.”

                     Ditinjau  dari  sisi  struktur  agraria,  konversi  sawah
              untuk  usaha  perkebunan  ini  patut  diduga  juga  melibatkan
              peralihan  penguasaan  tanah  yang  signifikan.  Sebab,  bahkan
              jika  alih  guna  lahan  untuk  usaha  perkebunan  ini  dilakukan
              oleh  petani  sendiri  (yakni,  bukan  investasi  skala  besar  oleh
              korporasi), faktor kebutuhan modal yang tinggi dan periode
              tunggu  yang  lama  sebelum  masa  panen  tiba  akan  sulit
              dipenuhi oleh petani dengan modal dan lahan yang terbatas.
              Oleh  karena itu, kedua aspek perubahan ini (ketenagakerjaan
              dan  agraria)  menampilkan  suatu  proses  depeasantization,
              yakni tercerabutnya cukup besar populasi pedesaan dari mata
              pencaharian pertanian.

                     Data  potensi  desa  dari  BPS  juga  menampilkan  tren
              kenaikan  tipe  desa  perladangan.  Boleh  jadi,  kecenderungan
              semacam  ini  mencerminkan  gejala  “gunungisasi”  (Wiradi
              2009): para buruh tani yang terlempar dari sawah dan petani



                                          78
   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148