Page 182 - Perspektif Agraria Kritis
P. 182
Bagian V. Kiprah NU di Bidang Agraria
REDISTRIBUSI
Pemberian tanah pada petani miskin yang sumbernya
berasal dari pengambilalihan aset agraria yang menumpuk
pada pihak tertentu merupakan ciri kebijakan redistribusi.
Kebijakan ini bersifat zero-sum reform karena mengurangi
penguasaan sebagian pihak untuk ditransfer kepada pihak
yang lain (Borras & Franco 2008). Peranan negara amatlah
sentral di sini untuk memaksakan transfer penguasaan dapat
berlangsung, yaitu transfer sebagian aset agraria dari tangan
segelintir elite yang mengakumulasinya kepada para petani
miskin yang sangat membutuhkannya.
Konferensi Jakarta 1961 mengembangkan penalaran
legal berikut ini untuk menyatakan keharaman land reform.
Pelaksanaan land reform pasti akan melibatkan penarikan
harta seseorang secara paksa oleh negara untuk diberikan
kepada pihak lain. Tindakan semacam ini dianggap sebagai
perampasan atas hak milik—sesuatu yang amat dihargai dan
bahkan dilindungi dalam Islam. Memang, negara memiliki
otoritas untuk melakukan paksaan (al-ikrâh). Tetapi hal ini
terbatas pada paksaan menjual bahan makanan ketika terjadi
krisis pangan. Itu pun dengan ketentuan bahwa si penjual
harus menyisakan cadangan pangan untuk setahun ke depan.
Munas Mataram 2017, ketimbang menerima begitu saja
hak kepemilikan ini sebagai sesuatu yang bersifat given,
memilih untuk justru mempersoalkannya secara kritis. Hal ini
dilakukan dengan menyoroti kesejarahan dan aspek etis dari
penguasaan aset agraria, khususnya penguasaan tanah skala
luas oleh para konglomerat.
dari Kesepakatan Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang banyak
merugikan kepentingan Indonesia. Salah satunya adalah keharusan
Pemerintah Indonesia mengembalikan aset-aset perkebunan yang
konsesi dan haknya telah diberikan secara sah oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Mengenai hal ini, lihat Rachman (2012).
117