Page 183 - Perspektif Agraria Kritis
P. 183

Perspektif Agraria Kritis


                     Pertama, hak atas tanah harus diperoleh dengan cara
              yang benar secara hukum dan tidak menyalahi rasa keadilan.
              Selama  ini  pemerintah  dalam  mengalokasikan  aset  agraria
              sering mengabaikan aturan hukum dan prinsip keadilan karena
              “dipengaruhi  kepentingan  sekelompok  masyarakat  tertentu
              (para konglomerat dan pengusaha kelas kakap …).” Terhadap
              kebijakan  yang  distortif  semacam  ini,  Munas  Mataram  2017
              menegaskan bahwa:

                     “…   negara   boleh   menganulir    kebijakan
                     pemerintah sebelumnya yang telah memberikan
                     lahan  kepada  para  konglomerat  [secara
                     berlebihan]       dengan       pertimbangan
                     kemaslahatan.”

                     Kedua,  keabsahan  hak  atas  tanah  berbanding  lurus
              dengan  kewajiban pemegangnya  untuk  mengelola tanah itu
              secara produktif dengan cara yang tidak merusak lingkungan.
              Apabila  tanah  justru  dibiarkan  terlantar,  maka  “negara  bisa
              menarik kembali lahan tersebut dan diberikan kepada pihak
              lain yang membutuhkan.” Merujuk pendapat ulama Madzhab
              Hanafi,  Munas  menetapkan  batas  toleransi  penelantaran
              tanah ini selama tiga tahun. Demikian pula, jika penggunaan
              tanah justru membawa dampak kerusakan lingkungan, maka
              hal itu bisa termasuk tindakan kriminal yang harus ditindak
              tegas oleh negara. Dalam hal ini, Munas Mataram merujuk dua
              keputusan  tentang  lingkungan  hidup  yang  ditetapkan
              Muktamar 1994 di Cipasung, Tasikmalaya.
                     Ketiga,  prinsip  keadilan  menjadi  kriteria  tersendiri
              untuk mengevaluasi keabsahan hak atas tanah. Hal ini untuk
              memastikan perwujudan keseimbangan ekonomi (at-tawâzun
              al-iqtishâdi)  sebagai  turunan  dari  salah  satu  tujuan  syariat
              Islam. Menurut Munas Mataram, “sekarang ketimpangan itu
              sudah  nyata  dan  terjadi.”  Bentuknya  yang  paling  mencolok
              adalah  “ketimpangan  dalam  kepemilikan  lahan.”  Seperti
              dinyatakan dalam dokumen hasil bahtsu ‘l-masâ’il:



                                          118
   178   179   180   181   182   183   184   185   186   187   188