Page 192 - Perspektif Agraria Kritis
P. 192

Bagian V.  Kiprah NU di Bidang Agraria


              penyusunan rancangan UU Pokok Agraria. Dalam percaturan
              politik nasional, NU juga terus mendukung pelaksanaan land
              reform, kendati di lapangan banyak anggotanya yang terlibat
              bentrok dengan para petani yang melakukan “aksi sepihak”.

                     Secara sosial, NU melalui  badan otonomnya  Pertanu
              (Pertanian Nahdlatul Ulama) juga gigih mendukung perjuangan
              petani  dalam  mewujudkan  pelaksanaan  land  reform.  Bahkan
              perjuangan  ini  terus  dilanjutkan  ketika  gelombang  politik
              nasional  mulai  berbalik  memusuhi  agenda  ini,  yaitu  pasca
              peristiwa (yang rezim Orde Baru juluki) “G30S/PKI”.

                     Berikut ini akan dibahas lebih rinci kiprah agraria NU
              di berbagai bidang, yakni ijtihad keagamaan, hukum (legislasi
              UUPA), politik nasional, dan perjuangan sosial di daerah.


              NU DAN PEMIKIRAN AGRARIA


                     Dalam forum Muktamar NU yang kedua pada 9 Oktober
              1927 di Surabaya, salah satu keputusan yang ditetapkan adalah
              masalah gadai tanah. Terhadap pertanyaan mengenai hukum
              sebidang tanah yang digadaikan, lalu hasil tanah itu diambil
              oleh pihak penerima gadai (yakni, yang meminjamkan uang),
              forum ini menyebutkan tiga pendapat dari ulama fiqh: haram,
              halal dan syubhat (tidak jelas halal-haramnya). Haram karena
              termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente). Halal jika
              pemanfaatan  itu  tidak  dipersyaratkan  saat  transaksi  (akad).
              Syubhat karena para ahli berselisih pendapat ketika praktik ini
              sudah menjadi tradisi (adat) tanpa dipersyaratkan dalam akad.

                     Menyikapi tiga pendapat ini, “Muktamar memutuskan,
              bahwa yang  lebih  berhati-hati  ialah  pendapat  yang  pertama
              (haram).” Lebih lanjut, Muktamar 1927 menegaskan:

                     “Adapun  peminjaman  dengan  syarat  boleh
                     mengambil  manfaat  oleh  peminjam  [pemberi
                     pinjaman?],  maka  hukumnya  rusak/haram,



                                          127
   187   188   189   190   191   192   193   194   195   196   197