Page 194 - Perspektif Agraria Kritis
P. 194

Bagian V.  Kiprah NU di Bidang Agraria



              kerja  sama  dalam  bidang  pertanian  banyak  diangkat  yang
              kesemuanya   mengacu  pada  kasus-kasus  faktual  di  lapangan.
              Selain  masalah  gadai  yang  dikutip  di  atas,  dibahas  juga  sewa
              menyewa   atas  alat  produksi  (sawah,  tambak,  perahu),  relasi
              perburuhan  dalam  penggarapan   sawah,  pembelian  tanaman
              secara  ijon,  bahkan  skema  kerja  sama  dalam  Tebu  Rakyat
              Intensifikasi  (TRI)  yang  cukup  merugikan  petani.  Berbagai
              masalah zakat pertanian juga banyak dibicarakan di sini, meski
              perlu  dicermati  lebih  jauh  lagi  seperti  apakah  zakat  pertanian
              dimaknai sebagai jawaban atas persoalan agraria ketiga ini.

                     Urutan  kedua  yang  paling  banyak  dibicarakan  dalam
              forum  nasional  NU  adalah  persoalan  agraria  pertama,  yakni
              insecurity  di  dalam  penguasaan/pemilikan  sumber-sumber
              agraria.  Persoalan  ini  dibicarakan  untuk  pertama  kali  dalam
              Muktamar   1927,  dan  sejak  itu  telah  disinggung  dalam  sekitar
              43% dari 69 keputusan organisasi yang terkait isu agraria. Ada
              tiga  keputusan  organisasi  yang  menonjol  dalam  kategori  ini,
              yaitu  penggusuran  tanah  (hasil  Muktamar  Tasikmalaya  1994
              dan Munas Lombok Tengah 1997) serta tumpang tindih klaim
              hak atas tanah (hasil Muktamar Lirboyo 1999).

                     Menurut Muktamar 1994, penggusuran dibolehkan jika
              “betul-betul  pemanfaatannya  untuk  kepentingan  umum  yang
              dibenarkan  oleh  syara’  dan  dengan  ganti  rugi  yang  memadai”.
              Penentuan  ganti  rugi  tanah  harus  “melalui  musyawarah  atas

              dasar keadilan dan tidak ada pihak  yang dirugikan” (AF: 482).


              Menurut  Munas  1997, apabila semua syarat ini dipenuhi, maka



              penggusuran  “hukumnya  boleh sekalipun tanpa kesepakatan”.
              Namun,   jika  dilakukan  tanpa  ganti  rugi  memadai  dan  tanpa
              kesepakatan  pemilik  tanah,  maka  penggusuran  itu  “tergolong

              perbuatan  zalim  karena  termasuk  bay’u ‘l-mukrah  [jual  beli
              paksa] dan hukumnya haram serta tidak sah” (AF: 523).
                            Muktamar Lirboyo  1999 membahas  isu  perlindungan
              hak atas  tanah dalam konteks yang lebih umum, yakni ketika



                                          129
   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198   199