Page 195 - Perspektif Agraria Kritis
P. 195
Perspektif Agraria Kritis
ada klaim atas tanah seseorang yang telah dimanfaatkannya
bertahun-tahun (misalnya, dari perusahaan yang mengklaim
telah mendapatkan legalitas ijin atau hak dari pemerintah).
Terhadap kasus semacam ini (yang banyak terjadi selama Orde
Baru dan telah menimbulkan konflik agraria di mana-mana),
Muktamar 1999 menetapkan bahwa prioritas hak atas tanah
berada di tangan pihak yang lebih dulu “menghidupkan tanah
mati” (ihyâ’ al-mawtâ), yakni mereka yang pertama kali
menggarap tanah negara yang tidak bertuan.
“Jika pihak pertanahan dapat membuktikan
bahwa seluruh tanah termasuk sebagian yang
telah ditempati [oleh seseorang] tersebut
adalah milik penggugat [bukan tanah kosong],
maka tanah tersebut menjadi miliknya [yakni
penggugat] sepenuhnya. Namun jika terbukti
bahwa tanah tersebut [saat ditempati oleh
seseorang] adalah tanah mati (tidak bertuan),
maka [tanah itu] menjadi milik orang yang
menghidupkannya.” (AF: 549-550)
Dengan demikian, ketika terjadi tumpang tindih klaim
hak atas tanah di mana dua belah pihak sama-sama membawa
bukti yang menguatkan klaim masing-masing (baik bukti itu
tertulis atau tidak tertulis), maka yang dimenangkan menurut
Muktamar 1999 adalah pihak yang bisa membuktikan bahwa
periode penguasaannya lebih lama dibandingkan penguasaan
pihak lawannya.
Pada urutan selanjutnya adalah persoalan agraria yang
kedua—yakni, inequality di dalam penguasaan/pemilikan SSA—
yang disinggung dalam sekitar 36% dari 69 keputusan NU. Isu
yang paling menonjol pada kategori ini adalah kedudukan land
reform dalam pandangan hukum Islam. Inilah isu yang
menjadi pokok bahasan utama dalam bab terdahulu. Selain itu,
masih ada beberapa isu lain yang bisa dikelompokkan ke
dalam kategori ini, seperti hak atas tanah, sumber daya alam
untuk kesejahteraan rakyat, beberapa rekomendasi terkait
130