Page 89 - Jurnal Sejarah Abad Historiografi Pendidikan Indonesia
P. 89
84 | Joshua Jolly Sucanta Cakranegara
dipisahkan dan berkaitan erat satu sama lapping (tumpang tindih) di antara keduan-
lain. Dengan pernyataan ini, setidaknya ya. Ketika Mendikbud Fuad Hassan akan
para guru yang merupakan pelaksana ke- menggabungkan Sejarah Nasional dengan
bijakan di lapangan tidak merasa bingung PSPB, hal ini disambut gembira. Menurut
dengan ketumpangtindihan materi yang A.A. Padi, persoalan tidak selesai sampai
sebenarnya berakar dari Sejarah Nasion- di situ saja. Pengajaran sejarah—persoalan
al. Harsya W. Bachtiar dalam komentarn- yang lebih mendasar—perlu dibenahi un-
ya menyatakan bahwa penyusunan buku tuk mengatasi kegagalan yang ada.
pegangan akan segera dilakukan. Tidak A.A. Padi menawarkan beberapa lang-
hanya satu, ia berharap minimal tiga buku kah untuk mengatasi kekurangan (bahkan
dapat disusun agar sekolah dapat memilih kegagalan) pengajaran sejarah. Tahap per-
di antaranya. Bahan-bahan buku pegangan tama adalah pengenalan peristiwa sejarah
pada masa sebelumnya dikaji ulang untuk (domain kognitif rendah). Tahap kedua
penyusunan buku pegangan yang lebih adalah menganalisis, membandingkan, dan
baik (Kompas, 1 Oktober 1985: 1, 12). mencari relevansi peristiwa sejarah den-
Sepuluh hari kemudian, Kompas gan kehidupan masa kini (domain kognitif
memuat pendapat A.A. Padi yang merupa- lebih tinggi). Tahap ketiga adalah menilai
kan staf pengajar IKIP Sanata Dharma Ju- pentingnya suatu peristiwa juga nilai-nilai
rusan Pendidikan Sejarah. Ia menyatakan moral (domain afektif). Tahap keempat
bahwa kehadiran PSPB dapat dinilai posi- adalah penerapan nilai-nilai peristiwa se-
tif sekaligus negatif. Positif karena men- jarah, misalnya dalam sikap hormat keti-
gangkat citra jurusan sejarah yang menja- ka upacara, dramatisasi peristiwa sejarah,
di ngetop pada waktu itu. Negatif karena serta renungan dalam peringatan peristiwa
pendidikan sejarah selama ini dinilai gagal sejarah (domain psikomotoris). Tiga tahap
menanamkan nilai-nilai nasionalisme, seh- awal jika dijalankan dengan baik akan
ingga diperlukan mata pelajaran lain, yai- cukup bagi pendidikan sejarah yang tidak
tu PSPB, untuk mengemban misi tersebut sekadar memaparkan fakta, tetapi juga
(Kompas, 10 Oktober 1985: 4). menanamkan nilai. Tahap demikian me-
A.A. Padi berusaha menyoroti beber- mang memerlukan kompetensi guru yang
apa hal yang menjadi akar permasalahan berpengalaman. Selain itu, keaktifan siswa
PSPB, antara lain sebagai berikut. Per- dalam pelajaran juga dibutuhkan.
tama, tujuan pengajaran sejarah, yakni Kedua, materi sejarah. Berkaca dari
menanamkan nilai nasionalisme dan inte- kurikulum sebelum PSPB diterapkan, yai-
grasi nasional. Sejarah nasional seharusn- tu Kurikulum 1975, pengalokasian materi
ya mampu membangun misi pembentukan sejarah sangat padat dengan waktu yang
identitas nasional atas masyarakat kepu- terbatas. Selain itu, kedudukan Indonesia
lauan Nusantara yang berbeda-beda. Ke- dalam materi sejarah masih belum men-
gagalan sejarah dalam menghadirkan juga dominasi. Oleh sebab itu, perlu ada penga-
menanamkan hal-hal tersebut membuat turan ulang antara materi sejarah dan PSPB.
PSPB dianggap diperlukan. Namun, ia tel- Ketiga, alokasi waktu, yang terkait dengan
ah mengkhawatirkan akan terjadinya over- persoalan kedua. Materi sejarah yang be-
Jurnal Sejarah