Page 59 - buku-Puisi
P. 59
59
Manisku jauh di pulau.
Kalau ’ku mati, dia mati iseng sendiri.
Ikon yang oleh Aminuddin (1987) disebut lambang dalam puisi mungkin dapat
berupa kata tugas, kata dasar, maupun kata bentukan, sedangkan simbol dapat dibedakan
antara (1) blank symbol, yakni bila simbol itu, meskipun acuan maknanya bersifat
konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat
umum, misalnya ”tangan panjang”, lembah duka”, mata keranjang”, (2) natural symbol,
yakni bila simbol itu menggunakan realitas alam, misalnya ”cemarapun gugur daun”,
ganggang menari”, ”hutan kelabu dalam hujan”, dan (3) private symbol, yakni bila
simbol itu secar khusus diciptakan dan digunakan penyairnya, misalnya ”aku ini
binatang jalang”, ”mengabut nyanyian”, ”lembar bumi yang fana”. Batas antara private
symbol dengan natural symbol dalam hal ini sering kali kabur.
Dari uraian tersebut tampak bahwa posisi kata dalam puisi begitu penting, paling
tidak puisi pada umumnya. Seorang pakar sastra kenamaan, yakni A. Teeuw, menulis
buku berjudul Tergantung pada Kata. Ini menandakan bahwa kata menjadi penentu
mutu dari suatu puisi. Hampir semua penyair akan bergulat dengan kata. Tak terkecuali
dengan Sutardji Calzoum Bachri yang dengan puisi manteranya, atau Radhar Panca
Dahana yan menyatakan ”kata telah mati”. Mereka tetap bergulat dengan kata. Dengan
katalah, Ramadhan KH menciptakan puisi-puisi yang mencitrakan alam yang damai,
yang kemudian dituangkan ke dalam Priangan si Jelita.
Karena posisinya yang begitu penting, dari kata-lah para penelaah memulai
petualangan penikmatannya. Mengapa begitu penting?