Page 515 - My FlipBook
P. 515
Tantangan Pemikiran dan Ideologi Klasik & Kontemporer
secara tekstual disebut Kristen fundamentalis, dan banyak dikecam oleh kaum Kristen.
Tentu ini sangat berbeda kondisinya dengan al-Quran dan cara menafsirkannya. Umat
Islam, dalam mengharamkan babi, berpegang kepada teks yang jelas, final, dan tetap,
tidak berubah sampai kiamat. Karena ada kondisi yang berbeda antara teks Bibel dan al-
Quran inilah, maka tidak bisa begitu saja, kaum Muslim menjiplak metodologi Bibel
untuk menafsirkan al-Quran.
. Tanpa memahami hakekat perbedaan antara teks al-Quran dan Bibel dan
metode penafsirannya, banyak sarjana yang latah menjiplak istilah-istilah yang
digunakan dalam studi Bibel, seperti menggunakan istilah ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam
Eksklusif’ atau ‘Islam radikal’ dan sebagainya, yang didefinisikan sebagai ‘orang-orang
yang menafsirkan al-Quran secara tekstual/literal’. Sedangkan yang liberal, inklusif, atau
pluralis, kata mereka, adalah yang menafsirkan al-Quran secara kontekstual.
Seyogyanya, para ilmuwan agama jangan bermain-main dengan aspek
metodologis (epistemologis) ini. Jika satu metode dirombak, hanya untuk mengubah
satu dua hukum tertentu dalam Islam, maka dampaknya akan sangat besar, karena
sudah membuka pintu untuk merombak seluruh hukum yang lain, dengan alasan
semata-mata, karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM
sekular. Maka diantara pengguna hermeneutika, saat ini, sudah bisa dijumpai upaya
merombak berbagai hukum Islam yang selama ini dipandang sebagai hal yang qath’iy.
Logika homoseksual
Kita bisa menyimak logika-logika Musdah Mulia dan lain-lain dalam
menghalalkan perkawinan sesama jenis sebenarnya sangat naif. Dalam makalah ringkasnya
yang berjudul “Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, dia menulis:
“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada
perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi
heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang
“given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat
konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-
sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan
demikian dapat diterima.” (Uraian lebih jauh, lihat, Majalah Tabligh MTDK PP
Muhammadiyah, Mei 2008)
Hanya dengan logika ”Islam sebagai agama rahmat” maka dilakukanlah suatu
pembongkaran besar-besaran dalam hukum Islam. Tidak ada metodologi yang
dipakainya. Ini sama dengan dalil yang digunakan sejumlah mahasiswa syariah IAIN
503