Page 511 - My FlipBook
P. 511
Tantangan Pemikiran dan Ideologi Klasik & Kontemporer
dengan keinginan egois hampir semua orang untuk “Selalu Benar”. (Lihat,
Pengantar M. Amin Abdullah untuk buku Hermeneutika al-Quran: Tema-
tema Kontoversial, karya Fahrudin Faiz, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005)
Dengan demikian, maka penggunaan hermeneutika sebagai satu metode tafsir
al-Quran bisa sangat berbahaya, karena berpotensi besar membubarkan ajaran-ajaran
Islam yang sudah final. Dan itu sama artinya dengan membubarkan Islam itu sendiri.
Karena itu, para akademisi Muslim seyogyanya sadar benar akan bahaya besar ini, dan
bukan hanya bersikap tidak peduli atau bahkan sekedar mengikuti ‘tradisi’ Barat dalam
memperlakukan agama Yahudi dan Kristen.
Dengan hermeneutika, hukum Islam memang menjadi tidak ada yang pasti.
Contoh yang paling jelas dan banyak digugat oleh para hermeneut (pengaplikasi
hermeneutika) adalah hukum tentang perkawinan antar-agama. Dalam Islam, jelas
muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tapi, karena hukum ini
dipandang bertentangan dengan Universal Declaration of Human Right, pasal 16,
sehingga dianggap harus diubah. Agama tidak boleh menjadi faktor penghalang bagi
perkawinan. Maka kaum liberal menggunakan metode tafsir ‘kontekstual historis’ untuk
mengubah hukum ini. Dalam bukunya, Muslimah Reformis, (Bandung: Mizan, 2005),
Musdah menguraikan metode kontekstualisasi untuk QS 60:10, yang menjadi landasan
pengharaman pernikahan Muslimah dengan pria non-Muslim. Katanya:
“Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan ini sangat wajar
mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu
itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir.
Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi
secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami
secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan
dimaksud tercabut dengan dengan sendirinya."
Tapi, dalam soal pembongkaran hukum perkawinan antar-agama, metode tafsir
kontekstual historis ala Musdah Mulia berbeda dengan yang digunakan para penulis
buku Fiqih Lintas Agama (Paramadina, 2004):
“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan
wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks
dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat
ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh
499