Page 508 - My FlipBook
P. 508
Bagian Kempat
Legalisasi Homoseksual dan Ijtihad Kontekstual
Dr. Adian Husaini, M.A.
Anggota MTDK PP Muhammadiyah
Periode 2005-2010
Suatu hari (Jumat, 28/3/2008), seorang wartawan salah satu harian di
Jakarta mengirimkan SMS kepada saya. Dia tidak dikenal sebagai aktivis Islam
atau pengurus salah satu organsisasi Islam. SMS itu bersejarah. Sebab, untuk
pertama kali dia berkirim SMS kepada saya. Isinya, dia terkejut membaca berita
di koran The Jakarta Post, edisi pagi itu, bahwa Prof. Dr. Musdah Mulia, dosen di
UIN Jakarta, sudah berani menghalalkan homoseksual.
Segera saya melacak situs koran the Jakarta Post. Ternyata benar. Berita
itu memang ada. Judulnya ”Islam recognizes homosexuality' (Islam mengakui
homoseksualitas). Dalam jurnalistik, tentu saja ini sebuah berita. Logika umum
akan menyatakan, bahwa homoseksual adalah haram dan menjijikkan. Tapi,
seorang profesor bidang keislaman sudah ada yang berani menghalakannya.
”Anjing menggigit manusia bukan berita, tetapi manusia menggigit anjing itu baru
berita,” begitu jargon lama yang dipegang dalam dunia jurnalistik. Jika yang
menghalalkan perkawinan sejenis (homo dan lesbi) adalah aktivis homoseksual,
maka tidak aneh, dan bukan berita. Tapi, ini lain! Yang menghalalkannya adalah
seorang profesor, berjilbab pula. Jadilah ini sebuah berita yang patut dikonsumsi
publik. Mengapa aneh? Karena ini untuk pertama kalinya ada seorang yang
dikenal sebagai ahli agama secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis.
Menurut berita The Jakarta Post, Mudah Mulia menyatakan, bahwa
homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena
itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and
created by God, thus permissible within Islam).
Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak
ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap
homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama arus utama dan kalangan
Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran
496