Page 513 - My FlipBook
P. 513
Tantangan Pemikiran dan Ideologi Klasik & Kontemporer
Cina, atau Jawa. Hingga kini, para perancang mode tetap memperlakukan bagian-bagian
khusus pada tubuh wanita sebagai daya tarik bagi laki-laki normal. Kontes-kontes ratu
kecantikan pun masih tetap menonjolkan dan mengukur bagian-bagian tertentu dari
tubuh wanita. Oleh karena itu, sepanjang sejarah Islam, para ulama hanya berbeda
pendapat dalam soal kewajiban menutup wajah (cadar) dan batasan tangan. Tidak ada
yang berpendapat bahwa wanita boleh memperlihatkan perut atau punggungnya.
Apalagi yang berpendapat, bahwa batasan aurat wanita tergantung situasi dan kondisi.
Maka, aneh, misalnya, dalam Jurnal An-Nisa’a, terbitan Pusat Studi Gender IAIN
Raden Patah, Palembang, seorang dosen menulis, bahwa aurat adalah konsep budaya,
dan tidak perlu didasarkan pada nash.
”Apabila disetujui bahwa “kesulitan” dan “keperluan” merupakan penentu
dalam menginterpretasikan teks-teks aurat, maka aurat adalah bukan
terminologi agama, artinya batasannya bukan ditentukan oleh teks-teks agama.
Dalam hal ini, kata aurat sama halnya dengan kata-kata yang lain seperti aib dan
memalukan atau sebaliknya wajar dan sopan, adalah bukan terminologi agama
tetapi terminologi sosial budaya yang sangat relatif berbeda dari satu tempat ke
tempat yang lain.” (Vol. 2, Nomor 1, Juni 2006, hal. 66).
Cara memandang Islam sebagai ”produk budaya” menjadi akar dari pola pikir
dekontsruksi syariah. Padahal, Islam adalah agama wahyu, yang final. Konsep finalitas
dan universalitas teks al-Quran inilah yang patut disyukuri oleh umat Islam, sehingga
umat Islam seluruh dunia, sampai saat ini memiliki sikap yang sama berbagai masalah
mendasar dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi
Kristen yang sangat mudah mengubah hukum, karena teks Bibel sendiri memang
senantiasa berubah dan tidak ada teks yang final yang bisa dijadikan rujukan. Contoh
yang mudah, bisa dilihat dalam hal ayat tentang babi, jika dilihat sejumlah versi teks
Kitab Imamat 11:7-8. Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tahun 1968
ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan
kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah
kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya,
maka haramlah ia kepadamu.” Tetapi, dalam Alkitab versi LAI tahun 2004, kata babi
sudah berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang
berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu
bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya
janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”
501