Page 32 - Tata Kelola Pemilu di Indonesia
P. 32

teknis-administratif,  tidak  ada  perdebatan  yang  berarti  di  kalangan  para
           pembuat  kebijakan.  Meskipun  ada  sekian  problematika  menyangkut  sisi
           teknis-administratif  ini,  misalnya  tentang  desain  besar  dari  tiga  lembaga
           penyelenggara  Pemilu,  termasuk  relasinya  satu  sama  lain.  Dengan
           demikian,  kita  dapat  melihat  bahwa  proses  pembuatan  UU  Pemilu
           berorientasi  pada  kepentingan  kelompok,  jangka  pendek,  dan  tidak
           menyentuh  desain  besar  terkait  misalnya  dengan  sistem  Pemilu,
           kelembagaan  pemilu  dan  pengelolaan  data  pemilih  yang  sangat  terkait
           dengan  data  penduduk  yang  menjadi  tugas  dan  wewenang  dari
           Kementerian  Dalam  Negeri.  Lamanya  pengesahan  UU  Pemilu  kemudian
           berimplikasi  pada  persiapan  penyelenggaraan  Pemilu  2019  yang  tidak
           optimal.

           Keempat adalah semakin menguatnya fenomena yudisialisasi politik terkait
           dengan  peran  MK  di  dalam  pengaturan  Pemilu.  Ada  beberapa  contoh
           putusan  dari  MK  yang  sebenarnya  juga  menghasilkan  tantangan  dan
           hambatan tersendiri bagi pengaturan tata kelola Pemilu di Indonesia (Isra
           dan  Fahmi  2019).  Sebagai  contoh,  MK  mengeluarkan  putusan  yang
           mempertegas  metode  konversi  suara  ke  kursi  dengan  prinsip  suara
                      3
           terbanyak.  Putusan ini dibuat hanya beberapa saat sebelum pelaksanaan
           tahapan  kampanye  dan  tahapan  pemungutan  suara  dan  sebelum
           pelaksanaan  tahapan  pencalonan.  Keputusan  ini  tidak  saja  berdampak
           terhadap  penyelenggara  Pemilu,  namun  juga  kepada  peserta  Pemilu.
           Contoh yang lain adalah putusan MK untuk membedakan antara Pemilu
           Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif pada satu sisi dan pemilihan
           kepala daerah pada sisi yang lain. MK mengatakan bahwa pemilihan kepala
           daerah adalah bukan bagian dari rejim Pemilu, melainkan bagian dari rejim
           pemerintahan daerah. Dengan putusan tersebut, pemilihan kepala daerah
           menjadi kewenangan sepenuhnya dari pemerintah daerah (bukan Lembaga
           Penyelenggara Pemilu), maka MK tidak lagi menangani perselisihan hasil
           pemilihan  kepala  daerah,  dan  tidak  adanya  keharusan  untuk  melakukan
                                                                           4
           pemilihan  kepala  daerah  melalui  pemilihan  secara  langsung.  Namun
           demikian,  dalam  praktiknya  sejauh  ini,  ketiga  lembaga  penyelenggara
           Pemilu  tersebut  masih memiliki  tugas,  kewajiban,  dan  wewenang  dalam
           penyelenggaraan  pemilihan  kepala  daerah  sesuai  dengan  UU  Pilkada.
           Belum  ada  regulasi  yang  dihasilkan  oleh  DPR  untuk  menindaklanjuti

        3  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008.
        4  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.
     16     BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37