Page 31 - Buku Saku Pendidikan Kewarganegaraan - Adel Amelia
P. 31
pemilu yang bebas, adil, dan periodik. Warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih,
serta hak untuk mengawasi dan mengkritisi kinerja para wakil mereka. Di Indonesia, sistem
demokrasi perwakilan diimplementasikan melalui pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD,
DPRD) serta pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kedua jenis demokrasi ini saling melengkapi dalam praktik ketatanegaraan modern. Bahkan,
dalam perkembangan terkini, muncul pula model campuran yang menggabungkan unsur
demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan, seperti pelaksanaan pemilu langsung untuk
kepala daerah dan presiden di Indonesia, serta penggunaan mekanisme musyawarah di tingkat
lokal yang menghidupkan kembali semangat demokrasi partisipatif.
Dengan memahami pengertian dan jenis-jenis demokrasi, warga negara diharapkan dapat lebih
menghargai makna demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang berorientasi pada
kepentingan rakyat, serta aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik untuk menjaga dan
memperkuat sistem demokrasi yang telah dibangun.
4.2 Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami dinamika panjang, seiring dengan
perubahan kondisi politik, sosial, dan ekonomi bangsa. Demokrasi di Indonesia bukanlah hasil
adopsi dari negara lain secara mentah-mentah, melainkan tumbuh dari nilai-nilai asli bangsa
seperti musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial yang sudah hidup dalam budaya
masyarakat nusantara sejak lama. Namun, dalam praktik kenegaraan modern, perkembangan
demokrasi Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa fase penting yang mencerminkan karakter
dan tantangan tersendiri dalam setiap periode sejarah.
1. Masa Demokrasi Parlementer (1945–1959)
Pada awal kemerdekaan, Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Dalam sistem ini, kekuasaan
eksekutif dijalankan oleh kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen. Demokrasi
parlementer memberikan ruang yang luas bagi partai-partai politik untuk berkembang dan
berperan aktif dalam pemerintahan. Namun, periode ini juga diwarnai oleh instabilitas politik
yang tinggi. Sering terjadinya pergantian kabinet dalam waktu singkat (rata-rata kabinet hanya
bertahan kurang dari dua tahun) membuat pemerintahan menjadi lemah dan tidak efektif.
Menurut Herbert Feith, demokrasi parlementer Indonesia pada masa itu mengalami “disfungsi
sistemik” akibat tidak adanya partai mayoritas yang dominan serta rendahnya budaya
demokratis di kalangan elite politik.
2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Ketidakstabilan politik pada masa demokrasi parlementer mendorong Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan
memberlakukan kembali UUD 1945. Dekret ini sekaligus menjadi awal dari masa Demokrasi
Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin, Presiden memegang peran dominan dalam
pemerintahan, sedangkan peran partai politik dan parlemen semakin dilemahkan. Sistem ini
27

