Page 121 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 121
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
selama berlangsungnya Perang Dunia I (1914-1918). Kecuali
hanya satu orang, yaitu Goenawan Mangonkoesoemo, adik Dr.
Tjipto, yang tiba di Negeri Belanca membonceng delegasi Indie
Weerbaar pada tahun 1916. Namun setelah usai perang, kembali
datang gelombang kaum terpelajar Indonesia yang lebih besar
mulai tahun 1919, dan terus makin bertambah jumlahnya
hingga dekade ketiga abad ke-20. Kebanyakan pelajar Indonesia
yang datang ke negeri penjajah pada gelombang ini adalah yang
akan mengambil studi hukum dan kedokteran.
Mengutip laporan tahunan Panasihat Pelajar G.J.
Oudeman, Poeze (2014:162) menyebut bahan yang melimpah
berupa informasi nyata mengenai mahasiswa Indonesia di
Negeri Belanda. Laporan yang memuat daftar seluruh mahasiswa
itu mencatat jumlah 72 orang yang terdiri atas 48 orang Jawa,
7 orang Ambon, 5 orang Mianngkabau, 4 orang Batak, 4 orang
Manado, 3 orang Sunda, dan 1 orang Palembang. Ditinjau
dari bidang studi dan jurusan pendidikan di universitas, yang
terbanyak adalah mahasiswa yang belajar hukum (14), disusul
kedokteran (9), insinyur (5), dan kedokteran hewan (4). Untuk
bidang-bidang lain seperti indologi, pertanian, sastra, ekonomi
dan lain-lain, jumlahnya di bawah tiga orang. Kecuali untuk
pendidikan kejuruan militer yang tercatat cukup banyak, yaitu
8 orang.
Terbukanya kesempatan yang luas bagi anak-anak
bumiputra untuk melanjutkan studi ke Negeri Belanda tidak
terlepas dari kebijakan Politik Etis (politik balas budi) yang
diperkenalkan Kerajaan Belanda sejak awal abad ke-20 dengan
92