Page 123 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 123
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
tajam adalah kelaziman. Penguasa kolonial telah menyeponsori
kalangan muda pribumi yang pandai dan berbakat tersebut
untuk belajar di Eropa dengan harapan mereka akan menjadi
bagian dari ujung tombak terdepan proses terciptanya golongan
elite di koloni yang nantinya mampu mengadopsi nilai-nilai
Eropa seperti yang diharapkan. 3
Namun di luar perkiraan, lanjut Ingleson, mereka ini justru
(menjadi) golongan yang mengantisipasi proses menguatnya
rasa anti-kolonialisme, menjadi sumber api penyulut gerakan
nasionalis yang terbawa serta bersama kepulangan ke tanah air.
“Kaum muda Indonesia di Negeri Belanda ini telah terbebas
dari hambatan-hambatan politik kolonial. Mereka terlihat aktif
bukan saja untuk berhasil dalam studi formal, namun juga
(terlibat) pada debat-debat politik berharga di Eropa pada awal
dekade abad ke-20”. 4
Menurut Poeze (2014:219) kalangan mahasiswa kedokteran
(di Negeri Belanda), kalaupun aktif dalam politik umumnya
sikap mereka moderat. Tapi bagaimana pun, pengalaman
lebih empat tahun belajar di Belanda, iklim “kebebasan” yang
sedang menuju puncaknya di kalangan pelajar Indonesia masa
itu, sedikit-banyak tentu membawa pengaruh pula kepada
Achmad Mochtar. Apalagi, walaupun tidak menjadi pengurus,
tetapi Mochtar juga ikut aktif dalam berbagai kegiatan
Perhimpunan Indonesia (PI) yang masa itu sedang menuju
3 Lihat John Ingleson, Mahasiswa, Nasionalisme & Penjara: Perhimpunan
Indoneris 1923 – 1928. Jakarta. Komunitas Bambu, 2018, hlm. v-vi.
4 Ibid.
94