Page 165 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 165
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
Asikin Hanafiah (Prof. Dr.), kemenakan Achmad
Mochtar (anak dari adik iparnya Mohammad Ali Hanafiah),
mempunyai kesaksian dan kesan tersendiri di awal masuknya
tentara Jepang ke Jakarta. Pengalaman tersebut ia ceritakan
kepada Sangkot Marzuki dalam wawancara pada 2010 (Baird &
Marzuki (2020:109) dan kembali diulangi dalam beberapa kali
kesempatan wawancara dengan tim penulis buku ini. Asikin
masih mengingat apa yang disaksikannya pada suatu hari di awal
bulan Maret 1942 –ketika itu usianya masih sembilan tahun.
Hari itu tentara Jepang berbondong-bondong masuk Batavia
dengan berjalan kaki, bersepeda, mengendarai sedan sitaan atau
truk biasa. Di jalanan kota yang sepi dan hampir ditinggalkan,
Asikin melihat sekelompok prajurit Belanda duduk dan
merokok santai di atas kendaraan lapis baja besar yang penuh
senjata mengancam. Mereka terlihat bosan menunggu sesuatu.
Beberapa saat kemudian, mereka menjulurkan kepala dan
melihat ke (satu) arah yang sama. Asikin mengikuti arah tatapan
mereka. Dari sudut jalan muncul seorang prajurit Jepang dengan
senapan tersandang di bahu, mengayuh sepeda tua yang reyot.
Saat melihat musuhnya, prajurit Jepang tersebut berhenti dan
berdiri mengangkangi sepedanya. Pada awalnya, para prajurit
Belanda tersebut tidak bergerak. Akan tetapi, hampir secara
bersamaan mereka seketika mengangkat tangan tanda menyerah.
Prajurit Jepang itu mendekat dengan rasa ingin tahu, lalu
dengan gerakan tangan memerintahkan para prajurit Belanda
turun dari kendaraan (lapis baja) itu. Prajurit Jepang tersebut
segera melucuti senjata para prajurit Belanda, lalu menumpuk
136