Page 311 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 311
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
maupun keluarga istrinya. Hal ini dapat kita lihat dari tulisan Ali
Hanafiah, adik ipar Mochtar yang beberapa kali mengunjungi
kakak iparnya yang tengah meniti karier sebagai dokter di
Tanjung Balai, Sumatera Utara (lihat Bagian 3 tentang “Kisah
Lain dari Tanjung Balai”). Karena itulah, setelah Mochtar tiada,
semua anak dan keponakan yang pernah diasuhnya, tak pernah
melupakan Mochtar, dan selalu mengenang kebaikan sang
paman.
Asikin sudah mengenal paman dan bibinya ketika ia
berusia lima tahun pada 1937. Tetapi pergaulannya dengan
mereka tidak terlalu lama karena ketika usianya beranjak 13
tahun, Mochtar ditangkap dan dihukum mati oleh Kenpeitai.
Selain seorang ilmuwan yang hebat, Asikin mengenang pamannya
sebagai sosok yang visioner. Sekali waktu Mochtar melihatnya
sedang belajar bahasa Jepang. Sang paman lalu menganjurkan
agar ia mempelajari bahasa Inggris juga. Menurutnya Jepang
sudah di ambang kekalahan dalam perang melawan Sekutu.
Jadi Jepang takkan lama di Indonesia, sehingga bahasa Jepang
tak penting lagi. Sekarang Asikin merasa bersyukur karena
sudah mengikuti anjuran pamannya. Achmad Mochtar sendiri
menguasai paling tidak tiga bahasa asing baik lisan maupun
tulisan. Yaitu bahasa Belanda, Inggris dan Perancis. Juga bahasa
Jepang untuk percakapan sederhana.
Salah satu anak angkat Mochtar, Ny. Nursjamsu
5
Nasution yang sempat diwawancara oleh Majalah Sarinah
5 Menurut putrinya, Amendi Nasution, ibuya Ny. Nurjamsu Nasution meninggal
tahun 1996.
282