Page 37 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 37
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
Sibolga dan Tanjung Balai (Sumatera Utara). Berkat kecerdasan,
ketekunan dan prestasi yang diperolehnya sebagai dokter dan
ilmuwan peneliti di bawah bimbingan Dr. W.A.P. Schuffner,
Mochtar kemudian mendapatkan beasiswa pemerintah untuk
melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda (1923-1927).
Schuffner pula yang menjadi mentor dan pembimbing
disertasinya yang salah satu kesimpulannya menggugurkan
hiopesis Dr. Noguchi yang telah kita singgung di muka.
Pulang ke Indonesia dan pernah bertugas di kepala
rumah sakit Bengkulu dan kepala laboratorium kesehatan
di Semarang, Mochtar dipromosikan ke Lembaga Eijkman
sebagai satu-satunya ahli peneliti pribumi di antara kurang dari
selusin ahli peneliti Belanda. Di awal zaman Jepang Achmad
Mochtar mencapai puncak kariernya. Setelah para ilmuwan
Belanda ditangkapi oleh pemerintah pendudukan Jepang, dia
diangkat untuk dua jabatan paling tinggi yang pernah dicapai
dokter dan ilmuwan Indonesia pada masa itu: sebagai orang
Indonesia pertama yang menjadi Direktur Lembaga Eijkman,
serta diangkat menjadi guru tinggi (profesor, istilah Jepang
untuk guru besar) sekaligus wakil dekan Djakarta Ika Daigaku
(Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta). Dekan Ika Daigaku sendiri
adalah orang Jepang yang sudah tua, Prof. Itagaki.
Dalam buku yang diterbitkan Gunseikanbu (pemerintah
militer pendudukan Jepang di Jawa) berjudul Orang Indonesia
yang Tekemuka di Djawa (1944), profil dan biodata Dr.
Achmad Mochtar dimuat paling panjang (hampir 3 halaman,
Gunseikanbu, 1986:330-333). Bandingkan dengan profil Ir.
8