Page 109 - Bu Kek Siansu 01_Neat
P. 109
menderita sengsara batin yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan
batinnya...." Dara itu kelihatan berduka sekali, kemudian berkata lagi, "Suheng,
apa sih perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan
rindu dan kecewa?" "Itu bukan cinta, Sumoi, Ahh, kau takan mengerti dan semua
orang takan mengerti karena sudah lajim menganggap hawa nafsu sama dengan
cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk kesenangan dan ingin
memilikinya untuk diri sendiri. Dan semua inilah yang menimbulkan kecewa dan
duka, Sumoi."
Sumoinya terbelalak. "Aihh, kau bicara seperti kakek-kakek saja! Dari mana
memperoleh filsafat macam itu, Suheng?" Karena tertarik, dara yang mudah ini
sudah melupakan kedukaanya dan menjadi riang gembira lagi, matanya
memandang suhengnya dengan berseri penuh godaan.."Dari... hemm, kukira dari
kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku sudah kenyang membaca filsafat, dan apa
artinya filsafat kalau hanya untuk diafal? Tidak ada bedanya dengan benda mati
yang hanya diulang-ulang, dipakai perhiasan, dijadikan alat untuk terbang
melayang diawang-awang yang kosong. Terlalu banyak kitab kubaca sudah, dan
mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan kesadaran." Dia
menarik napas panjang.
"Suheng, kau tadi mencela aku yang kaukatakan murung. Akan tetapi aku juga
seringkali melihat engkau seperti orang berduka. Apakah kau tidak senang
tinggal di Pulau Es?" "Aku suka sekali tinggal di sini, Sumoi. Kurasa jarang
terdapat tempat seindah ini, masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku
melihat hukuman-hukuman yang dibuang ke Pulau Neraka..." "Aih, hal itu bukan
urusan kita, Suheng. Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa urusan antara
Ayah dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali bukan
urusan kita." Kau keliru, Sumoi. Urusan Ayah Bundamu memang merupakan
urusan pribadi mereka. Akan tetapi urusan orang-orang terhukum adalah urusan
umum, urusan kita juga. Aku merasa tidak senang sekali dengan adanya
108