Page 53 - Tesis Musdaliva
P. 53
35
Ekofeminisme juga menegaskan bahwa akar kerusakan lingkungan
tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya faham antroposentrisme,
sebagai kepanjang tangan system kapitalis yang dihasilkan oleh budaya
patriarki dimana tidak sedikit menghasilkan faham bias laki-laki (Susilo,
2012:120). Selanjutnya Sherry B. Ortner menyatakan bahwa tidak mudah
bagi perempuan untuk memutuskan kedekatannya dengan alam sebab
praktis hampir semua kebudayaan menunjukkan bahwa dibanding dengan
laki-laki, perempuan lebih dekat dengan alam.
Vandana Shiva dan Maria Mies dalam bukunya Ekofeminism
menyatakan bahwa konstruksi perempuan sebagai jenis kelamin kedua
dikaitkan dengan ketidakmampuan yang sama untuk mengkopi
perbedaan-perbedaan, seperti yang ada dalam paradigma pembangunan,
yang mengarah pada penyingkiran dan pemusnahah keanekaragaman
hayati sebab ideologi patriarki memandang laki-laki sebagai ukuran dari
segala nilai, tiada ruang bagi keanekaragaman yang ada hierarki.
Perempuan, karena tidak sama dengan laki-laki, diperlakukan tidak adil
dan dipinggirkan. Keanekaragaman dipandang bukan karena nilai yang
secara intrinsik terkandung di alam itu sendiri, melainkan pada nilai yang
bisa diperoleh lewat eksploitasi ekonomi demi mendapatkan keuntungan
komersial.
Ekofeminisme menjadi semakin popular tidak lepas dari kenyataan
bahwa dampak kerusakan lingkungan lebih banyak diterima dan
dirasakan oleh kaum perempuan dibanding kaum laki-laki. Ini sesuai