Page 147 - Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat
P. 147

128   Dr. Julius Sembiring, S.H., MPA.


                Hukum  Adat yaitu van  Vollenhoven  dan  ter  Haar.
                Nols  Trenite  ingin  menerapkan ajaran dan asas  teori
                domeinverklaring  di luar Jawa-Madura,  sementara itu
                van Vollenhoven dan  ter  Haar  mengingatkan  untuk
                berhati-hati.  Jawaban  ter  Haar atas alasan  pertama
                adalah bahwa kesalahpahaman itu tidak perlu terjadi
                karena enam sifat khas Hukum Adat, tidak mengenal
                konsep beschikken dalam hukum perdata Belanda/BW-
                KUH Perdata Indonesia sebagai kewenangan penguasa
                untuk berhak menjual lepas tanahnya kepada pihak lain
                untuk selamanya. Adapun alasan kedua timbul karena
                adanya perbedaan pendapat  mengenai  batas  tanah
                masyarakat dengan hak komunal , dalam hal ini hak
                                            4
                ulayat.
                     5
                Ketiga, kritik Kurnia  Warman   yang  menyatakan
                                             6
            bahwa hak  ulayat  yang  dimaksud  dalam Pasal  3  UUPA


            4   Gongrijp  menjelaskan  bahwa  istilah  communal  itu
                diperkenalkan  oleh para pengusaha  besar  Belanda untuk
                bisa  mendapatkan  tenaga  kerja  murah  dan mudah  guna
                dipekerjakan di  perusahaannya. Van Vollenhoven  juga
                dalam menjelaskan beschikkingsrecht tidak menggunakan
                istilah  communal  grond  atau communal recht,  melainkan
                communal bezit dalam arti kepunyaan bersama yang juga
                berarti milik bersama. Jenis hak itu, di Minangkabau disebut
                milik basamo, atau di  Jawa disebut  gadahe tiang katah
                (kepunyaan/miliknya orang banyak) atau duweke wong sak
                desa (miliknya orang desa), lihat ibid, hlm.172-173.
            5   ibid, hlm. 171-172.
            6   Kurnia  Warman, “Hutan  adat  di “persimpangan jalan”:
                Kedudukan  hutan adat di  Sumatera  Barat  pada era
                desentralisasi” dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono
                (Penyunting) (2010),  Hukum  Agraria  dan  Masyarakat di
                Indonesia, Penerbit HuMA, Van Vollenhoven Institute dan
                KITLV Jakarta, hlm. 84 dan 94.
   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152