Page 97 - Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat
P. 97
78 Dr. Julius Sembiring, S.H., MPA.
Beranjak dari pemikiran bahwa antara tanah ulayat
dengan tanah swapraja adalah berbeda, maka terkait
dengan persoalan tanah ulayat dalam wilayah ‘swapraja’
muncul 2 (dua) pertanyaan yaitu: pertama, apakah
terdapat tanah (hak) ulayat dalam wilayah swapraja?
Kedua, bagaimanakah politik hukum Pemerintah Kolonial
terhadap eksistensi tanah ulayat tersebut? Pertanyaan
pertama diuraikan dengan melihat pada perjalanan sejarah
Pemerintah Kolonial terkait dengan persoalan pertanahan
di berbagai daerah.
Menjelang akhir abad ke 19, tatkala pemerintah
Kolonial Belanda bermaksud membuka usaha perkebunan
di Sumatera Timur maka persoalan tanah ulayat muncul
ketika Sultan bermaksud memberikan konsesi dalam wilayah
kekuasaannya. Akta Konsesi 1877 secara implisit menunjukkan
bahwa telah terdapat hak ulayat dari ‘Orang Rawa’ atas
hutan-hutan yang diberikan konsesi, meskipun Sultan Siak
menganggap bahwa tanah tersebut adalah miliknya.
7
Sebelum pertengahan tahun 1870-an, Sultan Deli dan
juga Sultan Sultan kerajaan tetangga memberikan konsesi
dengan tidak melibatkan kepala persekutuan adat (Datuk,
Kepala Urung) yang menimbulkan pemberontakan suku-
suku Batak Karo. Padahal masing-masing suku tersebut
(Hamparan Perak, Serbanyaman, Sukapiring, dan
7 Mahadi, 1978, Sedikit “Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku
Melayu Atas Tanah Di Sumatera Timur” (Tahun 1800-1975),
Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 87.