Page 102 - Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat
P. 102

Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat  83


              harus dimintakan persetujuan dari  Sultan.  “Hal tersebut
              mengingat  dalam hirarkhi Hak Penguasaan  Atas  Tanah
              dalam sistem Hukum Tanah Kesultanan Ternate, hak atas
              tanah yang tertinggi adalah aha Kolano (tanah Kolano atau
              tanah Sultan), artinya seluruh tanah adalah milik Sultan.
              Penguasaan tanah oleh anggota Soa yang luasnya melebihi
              50 x 50 M2 memerlukan ijin dari Sultan”.
                                                   16
                  Saat  ini,  adalah persoalan  yang perlu  mendapat
              perhatian  dengan  diterbitkannya  Peraturan  Daerah  Kota
              Ternate Nomor 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-
              hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate.
              Menurut Perda ini, Kesultanan  Ternate merupakan
              masyarakat  Adat (Pasal  2  ayat 1)  dan Sultan  sebagai
              pemangku adat tertinggi (Pasal 4 ayat 1). Menurut Perda

              ini  pemerintahan  Kesultanan sebagai sebuah swapraja
              disamakan dengan sebuah masyarakat adat, sesuatu yang
              berbeda dalam  konsepsi,  subyek dan  hak-haknya atas
              tanah.
                  Tiga  contoh di atas  secara  implisit  menunjukkan
              bahwa sesungguhnya ‘gong’ pemusnahan tanah ulayat telah

              ditabuh, yang  oleh  Ter  Haar  dan  Soekanto  dikatakan
                                         17
                                                        18
              16  Masyhud Ashari,  2008,  Status Tanah-Tanah  Kesultanan
                  Ternate Di Provinsi Maluku Utara (Tinjauan Juridis Hukum
                  Tanah Nasional), Laporan Penelitian, Fakultas Hukum
                  Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 53.
              17   Ter Haar, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Penerbit
                  Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 66 -67.
              18  Soekanto, 1996,  Meninjau Hukum  Adat Indonesia, Suatu
   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107