Page 103 - Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat
P. 103
84 Dr. Julius Sembiring, S.H., MPA.
sebagai pengaruh ‘merusak’ tanah ulayat yang terjadi di
lingkungan sekitar tempat tinggal Raja sebagai akibat
pemerintahan intensif karena adanya beneficium atau
19
lungguh/apanage (Yogyakarta).
Kooptasi tanah-tanah ulayat ke dalam penguasaan
tanah oleh Kerajaan menunjukkan peralihan penguasaan
tanah yang berkonsepsi komunalistik ke penguasaan
tanah yang berkonsepsi feodalistik, yang oleh Mochtar
Naim dikatakan sebagai struktur masyarakat daerah yang
20
bersifat vertikal. Raja – sebagai pemilik tanah tertinggi –
mendistribusikan penguasaan tanah secara vertikal baik
kepada penguasa subordinasi maupun kepada rakyat.
Dalam sistem feodalisme, tanah adalah milik raja, dan itu
berlaku baik dalam kerajaan Hindu dan Islam. Bagi Raja,
atau Sultan, atau Sunan, atau nama lain, seluruh tanah
yang berada dalam wilayah kekuasaannya adalah miliknya.
21
Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, P.T.RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 119-122.
19 Beneficium adalah imbalan yang diberikan Raja kepada
kawulanya atas kepercayaan dan kesetiaannya, lihat Satjipto
Raharjo, 1991, Ilmu Hukum, Penerbit P.T.Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 216-217.
20 Kata sambutan dalam buku Julius Sembiring, 2009, 1000
Peribahasa Daerah Tentang Tanah/Pertanahan di Indonesia,
Penerbit STPN Press, Yogyakarta, hlm.xiii.
21 Atas klaim itu, dikenal beberapa istilah seperti Aha Kolano
(Ternate), Grant Sultan (Sumatera Timur dan Riau), Sultan
Grond (Yogyakarta). Masa Pemerintahan Raffles di Indonesia
(1811-1816) juga mengklaim bahwa seluruh tanah adalah
milik raja, dan karena raja-raja di Indonesia telah tunduk