Page 145 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 145
dan tidak bertentangan dengan agama. Kami memperjuangkan
apa yang menjadi hak kami”
Apa yang disampaikan seorang tokoh agama ini selaras
dengan keinginan (pemahaman) penduduk umumnya.
Anggapan bahwa lebih baik bagi perempuan tinggal di rumah,
tampaknya juga diaktualisasikan secara dinamis. Dalam
kalangan menengah ke bawah, ada kesepakatan bahwa peker-
jaan produktif dilakukan secara berkerjasama oleh suami-
istri dan begitu pula keputusan-keputusan yang melingkupi-
nya. Walaupun (dan hal ini yang menambah beban perem-
puan), urusan reproduksi tetap di dalam konstruksi ketat
sebagai wilayah istri.
Satu hal berbeda ditemui di sebuah rumah tangga
menengah atas. Dalam rumah tangga ini, suami menekankan
pentingnya agar istri tinggal di rumah saja, mengurus anak
dan rumah. Semua keputusan menyangkut penggunaan lahan,
proses produksi dan distribusi dipegang oleh suami. Tugas
istri hanya melakukan apa-apa yang menjadi keputusan
suami. Seorang isteri dari kalangan menengah atas desa
menuturkan:
“Saya tidak tahu apa-apa, semuanya Bapak yang mutusin. Dulu
saya ke sawah, sekarang disuruh Bapak di rumah saja, ngurus
anak. Saya kadang bingung juga mau ngapain kalau siang-siang
pekerjaan rumah sudah selesai”
“… Ibu A itu hebat, bisa ke mana-mana, saya harusnya juga
ikut Darma Wanita, tapi sama Bapak dibilang ga usah. Lagi
pula, saya juga tidak bisa ngurus-ngurus gituan”
Akses istri hanya pada kegiatan reproduksi dalam
rumah tangga. Hal ini kembali pada konsep “pekerjaan istri
sekedar membantu suami”, sehingga jika penghasilan dari
pekerjaan suami sudah cukup, maka istri dirasa tidak perlu
lagi bekerja. Hal yang terbentuk kemudian adalah istri yang
tersisihkan dari ruang publik dan kehilangan kemampuan dan
rasa percaya diri atas potensi yang dimilikinya.
131