Page 150 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 150
Li menyebutkan bahwa peran perempuan terlihat lebih
lemah dalam melakukan klaim terhadap properti dalam sex-
sequential labor process, karena penghargaan atas kerja mereka
seringkali tidak jelas. Apa yang terjadi di Pasawahan men-
cerminkan hal tersebut. Dalam sebuah diskusi, seorang peserta
(laki-laki) mengatakan:
“Perempuanlah yang banyak kerja di sawah, tetapi selalu lelaki
yang dibangga-banggakan”
Hal ini juga diamini oleh laki-laki lainnya dalam forum
yang sama. Ketika hal yang sama ditanyakan pada para
perempuan dalam forum terpisah, juga menyatakan hal yang
sama. Situasi ini berimbas pada kurangnya pengakuan atas
peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan saat
hasil panen sudah dijual dan berbentuk uang. Hasil panen
padi (yang berjumlah relatif besar) disimpan oleh suami yang
berarti kontrol terbesar terletak di tangan suami.
Pada komoditas sebagai hasil sex-segregated labor process,
yang disebut Li memberikan porsi lebih besar bagi perempuan
untuk pengakuan, tercermin pada kontrol komoditas sam-
pingan. Berbagai komoditas sampingan ini jika dihitung nomi-
nalnya, lebih sedikit (hanya cukup untuk membeli bumbu).
Meski perempuan berperan setara laki-laki dalam pe-
ngerjaan sawah, sekaligus dalam pengelolaan komoditas
sampingan, namun arti peran perempuan dalam lahan sawah
tetap saja dianggap lebih sedikit dibandingkan peran laki-laki.
Sementara, peran penuh perempuan dalam komoditas
sampingan dianggap kurang penting dibandingkan komoditas
yang dianggap hasil laki-laki (yaitu padi). Nilai nominal men-
jadi indikator penting dalam hal ini.
Secara umum, relasi gender dalam kelembagaan pro-
duksi di Munggangwareng, Pasawahan identik dengan di
Sukamaju, Banjaranyar. Hal yang berbeda dalam soal akses
dan kontrol distribusi hasil pertanian. Perempuan OTL di
Pasawahan memiliki kontrol yang relatif lebih kecil dibanding-
136