Page 238 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 238
hukum tersebut, Belanda menggolongkan tanah jajahan
menurut hak penggunaannya menjadi 3 bagian besar yaitu,
hak Erfpacht (setelah Indonesia merdeka dikonversi menjadi
Hak Guna Usaha/HGU), hak Eigendom dan hak Opstal.
Berdasarkan UU tersebut, di Trisobo kemudian hadir
perkebunan modal asing yang menguasai tanah cukup luas
di desa ini, termasuk tanah yang menurut masyarakat ter-
masuk dalam tanah milik desa. Hal ini ditunjukkan dengan
keberadaan makam pepunden desa yang kemudian berada
di dalam areal kawasan perkebunan.
Pada masa Orde Baru, penguasaan oleh perusahaan
perkebunan skala luas ini terus berlanjut di Trisobo, oleh PT
KAL berdasarkan SK Mendagri No: SK-67/HGU/Da/80/
tanggal 25 September 1980 dengan luas konsesi 151,3 Ha
(dan di desa Kertosari seluas 18,2 Ha). Masa berlaku HGU
selama 30 tahun terhitung mulai 31 Desember 1972 sampai
31 Desember 2002.
Pasca kemerdekaan tanah rakyat Trisobo dikembalikan
kepada negara dengan status tanah hak erfpacht, kemudian
rakyat menggarap kembali tanah tersebut. Pada tahun 1958
terjadi nasionalisasi, petani kembali tergusur dari lahannya
oleh PP Subang. Pada tahun 1979 muncul Keppres No. 32
tahun 1979 Tentang Pemberian Hak Baru Asal Konversi Hak
Barat, tetapi tidak ada klarifikasi dari PT yang pada saat itu
menguasai tanah, untuk mengembalikan kepada petani.
Bahkan PT tetap menguasai hingga beralih nama ke menjadi
PT Karyadeka Alam Lestari.
Saat reformasi bergulir tahun 1998, masyarakat Trisobo
mulai melakukan reklaiming atas lahan HGU PT KAL untuk
dijadikan lahan pertanian. Gerakan petani yang dilakukan
pada tahun 2000 ini lalu mendapat pertentangan keras oleh
PT KAL, bahkan juga oleh Pemerintah karena dianggap
bertentangan dengan hukum formal yang berlaku. Di sinilah
problem dilematisnya, sebab menurut Wiradi (2009) di satu
224